Google

Friday, September 4, 2009

Rasa Lapar


Dinukil dari Manaqib Mirsayid Ali Hamadani, tatkala Adam dan Hawa turun ke bumi, iblis menitipkan anaknya yang bernama Khannas kepada Hawa saat Adam pergi ke suatu tempat. Iblis berkata kepada Hawa, "tolong jaga anakku ini!" lalu dia pergi. Saat Adam datang, ia bertanya,"siapa ini?" "anak iblis", jawab Hawa. "kenapa kamu menjaganya. Dia adalah musuh kita!" tegas Adam. Lalu Adam memotong motongnya menjadi empat dan setiap potongan ia letakkan di puncak gunung. Ketika Adam pergi, iblis datang dan menengok anaknya. Maka Hawa menceritakan kejadiannya. Iblis menjerit memanggil-manggil, "Khannas! Anakku!" Khannas langsung hadir dalam bentuk semula, kemudian iblis pergi meninggalkan Hawa dan Khannas.

Adam datang dan melihat Khannas, ia bertanya kepada Hawa bagaimana hal ini bisa terjadi. Hawa pun menceritakannya. Kemudian Adam membakar Khannas dan abunya dibuang ke air, lalu pergi. Iblis datang lagi. Untuk kedua kalinya ia memanggil dan Khannas pun muncul. Setelah Adam datang dan melihat ada Khannas, amarah pun menguasainya, Khannas dibunuh lalu dimakannya, kemudian pergi.

Hawa menyampaikan keadaan anaknya ketika iblis datang. Iblis memanggil " Ya Khannas!", dari dalam tubuh Adam, Khannas menjawab "aku disini, ayah!" "dimana?" tanya ayah "aku di perut Adam!" "hai anakku, kau telah menemukan tempat yang mulia, jangan sampai kau keluar dari tempat itu! Inilah tujuanku di balik semua ini!"


Dinukil dari Manaqib Mirsayid Ali Hamadani, tatkala Adam dan Hawa turun ke bumi, iblis menitipkan anaknya yang bernama Khannas kepada Hawa saat Adam pergi ke suatu tempat. Iblis berkata kepada Hawa, "tolong jaga anakku ini!" lalu dia pergi. Saat Adam datang, ia bertanya,"siapa ini?" "anak iblis", jawab Hawa. "kenapa kamu menjaganya. Dia adalah musuh kita!" tegas Adam. Lalu Adam memotong motongnya menjadi empat dan setiap potongan ia letakkan di puncak gunung. Ketika Adam pergi, iblis datang dan menengok anaknya. Maka Hawa menceritakan kejadiannya. Iblis menjerit memanggil-manggil, "Khannas! Anakku!" Khannas langsung hadir dalam bentuk semula, kemudian iblis pergi meninggalkan Hawa dan Khannas.

Adam datang dan melihat Khannas, ia bertanya kepada Hawa bagaimana hal ini bisa terjadi. Hawa pun menceritakannya. Kemudian Adam membakar Khannas dan abunya dibuang ke air, lalu pergi. Iblis datang lagi. Untuk kedua kalinya ia memanggil dan Khannas pun muncul. Setelah Adam datang dan melihat ada Khannas, amarah pun menguasainya, Khannas dibunuh lalu dimakannya, kemudian pergi.

Hawa menyampaikan keadaan anaknya ketika iblis datang. Iblis memanggil " Ya Khannas!", dari dalam tubuh Adam, Khannas menjawab "aku disini, ayah!" "dimana?" tanya ayah "aku di perut Adam!" "hai anakku, kau telah menemukan tempat yang mulia, jangan sampai kau keluar dari tempat itu! Inilah tujuanku di balik semua ini!"

Friday, June 19, 2009

Macam Hukum Syariat Islam

Syari’at Islam mempunyai 2 sumber hukum dalam menetapkan undang-undangnya, yaitu: Al-Qur’an dan Hadits, walaupun sebagain ‘ulama’ memasukkan ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum syari’at Islam. Segala ketetapan di dalam agama Islam yang bersifat perintah, anjuran, larangan, pemberian pilihan atau yang sejenisnya dinamakan sebagai hukum-hukum syara’ atau hukum-hukum syari’at atau hukum-hukum agama.

Hukum syara’ adalah seruan Syari’ (pembuat hukum) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia) berupa tuntutan, penetapan dan pemberian pilihan. Dikatakan Syari’ tanpa menyebutkan Allah swt sebagai pembuat hukum karena agar sunnah Nabi Muhammad saw termasuk didalamnya. Dikatakan pula “aktivitas hamba”, tidak menggunakan mukallaf (orang yang dibebani hukum), agar hukum itu mencakup anak kecil dan orang gila.

Secara garis besar ada 5 macam hukum syara’ yang mesti diketahui oleh kita:
1. Wajib
2. Sunnah
3. Haram
4. Makruh
5. Mubah

1. Wajib: para ‘ulama’ memberikan banyak pengertian mengenainya, antara lain:
“Suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa“. Atau “Suatu ketentuan jika ditinggalkan mendapat adzab“

Contoh: makan atau minum dengan menggunakan tangan kanan adalah wajib hukumnya, jika seorang Muslim memakai tangan kiri untuk makan atau minum, maka berdosalah dia.

Contoh lain, Shalat subuh hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang harus dikerjakan, jika tidak berdosalah ia.
Alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian diatas adalah atas dasar firman Allah swt:

(فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (النور:63

“….Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Dari ayat diatas telah jelas bahwa setiap orang yang melanggar perintah agama maka akan ditimpa musibah atau adzab, dan orang yang ditimpa adzab itu tidak lain melainkan mereka yang menyalahi aturan yang telah ditetapkan.

2. Sunnah:
“Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak berdosa“. Atau bisa anda katakan : “Suatu perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa“
Contoh: Nabi saw bersabda:

-صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا. -رواه البخاري و مسلم

Artinya: “Shaumlah sehari dan berbukalah sehari“. Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Dalam hadits ini ada perintah -صُمْ- “shaumlah”, jika perintah ini dianggap wajib, maka menyalahi sabda Nabi saw yang berkenaan dengan orang Arab gunung, bahwa kewajiban shaum itu hanya ada di bulan Ramadhan.

..مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصِّيَامِ؟ فَقَالَ شَهْرَ رَمَضَانَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا….

“….apa yang Allah wajibkan kepadaku dari shaum? Beliau bersabda: (shaum) bulan ramadhan, kecuali engkau mau bertathauwu’ (melakukan yang sunnah)….” Hadits riwayat Imam Bukhari.

Dari riwayat ini jelas bahwa shaum itu yang wajib hanyalah shaum di bulan ramadhan sedangkan lainnya bukan. Jika lafadz perintah dalam hadits yang pertama “shaumlah” itu bukan wajib, maka ada 2 kemungkian hukum yang bisa diambil:
1. Sunnah
2. Mubah

Shaum adalah suatu amalan yang berkaitan dengan ibadah, maka jika ada perintah yang berhubungan dengan ibadah tetapi tidak wajib, maka hukumnya sunnah. Kalau dikerjakan mendapat pahala jika meninggalkannya tidak berdosa.

Alasan untuk menetapkan hal itu mendapat pahala adalah atas dasar firman Allah swt:

-لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ. -يونس: 26

“Bagi orang-orang yang melakukan kebaikan (akan mendapat) kebaikan dan (disediakan) tambahan (atas kebaikan yang telah diperbuatnya)” –S.Yunus: 26-

Allah swt memberi kabar, bahwasanya siapa saja yang berbuat baik di dunia dengan keimanan (kepada-Nya) maka (balasan) kebaikan di akhirat untuknya, sebagai mana firman Allah:

-هَلْ جَزَاءُ الإِحْسَانِ إِلاّ الإِحْسَانُ. –الرحمن:60

Artinya: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” S. Ar-Rahman: 60.

Kita bisa memahami bahwa orang yang melakukan suatu kebaikan selain mendapatkan balasan atas apa yang telah dia lakukan, terdapat pula tambahan yang disediakan, dan tambahan ini bisa kita sebut sebagai “ganjaran”.

3. Haram:
“Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu“.

Contoh: Nabi saw bersabda:

-لاَتَاْتُوا الكُهَّانَ. –رواه الطبراني

“Janganlah kamu datangi tukang-tukang ramal/dukun“. Hadits riwayat Imam Thabrani.
Mendatangi tukang-tukang ramal/dukun dengan tujuan menyakan sesuatu hal ghaib lalu dipercayainya itu tidak boleh. Kalau orang melakukan hal itu, berdosalah ia.

Alasan untuk pengertian haram ini, diantaranya sama dengan alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian wajib, yaitu Al-Qur’an S.An-Nur: 63.

4. Makruh:
Arti makruh secara bahasa adalah dibenci.
“Suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan“. Atau “meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya“.

Sebagai contoh: Makan binatang buas. Dalam hadits-hadits memang ada larangannya, dan kita memberi hukum (tentang makan binatang buas) itu makruh.
Begini penjelasannya: binatang yang diharamkan untuk dimakan hanya ada satu saja, lihat Al-Qur’an Al-Baqarah: 173 yang berbunyi:

-إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ… –البقرة: 173

“Tidak lain melainkan yang Allah haramkan adalah bangkai ,darah, daging babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah….”

Kata إِنَّمَا dalam bahasa Arab disebut sebagai “huruf hashr” yaitu huruf yang dipakai untuk membatas sesuatu. Kata ini diterjemahkan dengan arti: hanya, tidak lain melainkan. Salah satu hadits Nabi saw yang menggunakan huruf “innama” ini adalah:

إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالْوُضُوْءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلاَةِ

“Tidak lain melainkan aku diperintah berwudhu’ apabila aku akan mengerjakan shalat“. Hadits riwayat Imam Tirmidzi.

Dengan ini berarti bahwa wudhu hanya diwajibkan ketika akan mengerjakan shalat. Lafazh إِنَّمَا pada ayat ini ia berfungsi membatasi bahwa makanan yang diharamkan itu hanya empat yaitu: bangkai, darah, babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah. Maka kalau larangan makan binatang buas itu kita hukumkan haram juga, berarti sabda Nabi saw yang melarang makan binatang buas itu, menentangi Allah, ini tidak mungkin. Berarti binatang buas itu tidak haram, kalau tidak haram maka hukum itu berhadapan dengan 2 kemungkinan yaitu: mubah atau makruh. Jika dihukumkan mubah tidak tepat, karena Nabi saw melarang bukan memerintah. Jadi larangan dari Nabi itu kita ringankan dan larangan yang ringan itu tidak lain melainkan makruh. Maka kesimpulannya: binatang buas itu makruh.

5. Mubah:
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal.
“Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya” atau “Segala sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya“

Contoh: dalam Al-Qur’an ada perintah makan, yaitu:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” Al-A’raf: 31

Akan tetapi perintah ini dianggap mubah. Jika kita mewajibkan perintah makan maka anggapan ini tidak tepat, karena urusan makan atau minum ini adalah hal yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia baik masih balita atau jompo. Sesuatu yang tidak bisa dielak dan menjadi kemestian bagi manusia tidak perlu memberi hukum wajib, maka perintah Allah dalam ayat diatas bukanlah wajib, jika bukan wajib maka ada 2 kemungkian hukum yang dapat kita ambil, yaitu: sunnah atau mubah. Urusan makan atau minum ini adalah bersifat keduniaan dan tidak dijanjikan ganjarannya jika melakukannya, maka jika suatu amal yang tidak mendapat ganjaran maka hal itu termasuk dalam hukum mubah.

WaLLAHU a’lam bis shawaab

Bahan bacaan:
• Tafsir Ibnu Kastir
• Seri Tafsir Ayat-ayat Hukum buku2, luthfie abdullah Ismail
• Mudzakkirah ushulil fiqh, Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali
• Ushul Fiqh, Dr. Husain Hamid
• Taisir Al-Wusul ilal Ushul, ‘Atha bin Khalil diterjemkan oleh Yasin As-Siba’i
• Soal-Jawab, A. Hassan

Syari’at Islam mempunyai 2 sumber hukum dalam menetapkan undang-undangnya, yaitu: Al-Qur’an dan Hadits, walaupun sebagain ‘ulama’ memasukkan ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum syari’at Islam. Segala ketetapan di dalam agama Islam yang bersifat perintah, anjuran, larangan, pemberian pilihan atau yang sejenisnya dinamakan sebagai hukum-hukum syara’ atau hukum-hukum syari’at atau hukum-hukum agama.

Hukum syara’ adalah seruan Syari’ (pembuat hukum) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia) berupa tuntutan, penetapan dan pemberian pilihan. Dikatakan Syari’ tanpa menyebutkan Allah swt sebagai pembuat hukum karena agar sunnah Nabi Muhammad saw termasuk didalamnya. Dikatakan pula “aktivitas hamba”, tidak menggunakan mukallaf (orang yang dibebani hukum), agar hukum itu mencakup anak kecil dan orang gila.

Secara garis besar ada 5 macam hukum syara’ yang mesti diketahui oleh kita:
1. Wajib
2. Sunnah
3. Haram
4. Makruh
5. Mubah

1. Wajib: para ‘ulama’ memberikan banyak pengertian mengenainya, antara lain:
“Suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa“. Atau “Suatu ketentuan jika ditinggalkan mendapat adzab“

Contoh: makan atau minum dengan menggunakan tangan kanan adalah wajib hukumnya, jika seorang Muslim memakai tangan kiri untuk makan atau minum, maka berdosalah dia.

Contoh lain, Shalat subuh hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang harus dikerjakan, jika tidak berdosalah ia.
Alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian diatas adalah atas dasar firman Allah swt:

(فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (النور:63

“….Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Dari ayat diatas telah jelas bahwa setiap orang yang melanggar perintah agama maka akan ditimpa musibah atau adzab, dan orang yang ditimpa adzab itu tidak lain melainkan mereka yang menyalahi aturan yang telah ditetapkan.

2. Sunnah:
“Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak berdosa“. Atau bisa anda katakan : “Suatu perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa“
Contoh: Nabi saw bersabda:

-صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا. -رواه البخاري و مسلم

Artinya: “Shaumlah sehari dan berbukalah sehari“. Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Dalam hadits ini ada perintah -صُمْ- “shaumlah”, jika perintah ini dianggap wajib, maka menyalahi sabda Nabi saw yang berkenaan dengan orang Arab gunung, bahwa kewajiban shaum itu hanya ada di bulan Ramadhan.

..مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصِّيَامِ؟ فَقَالَ شَهْرَ رَمَضَانَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا….

“….apa yang Allah wajibkan kepadaku dari shaum? Beliau bersabda: (shaum) bulan ramadhan, kecuali engkau mau bertathauwu’ (melakukan yang sunnah)….” Hadits riwayat Imam Bukhari.

Dari riwayat ini jelas bahwa shaum itu yang wajib hanyalah shaum di bulan ramadhan sedangkan lainnya bukan. Jika lafadz perintah dalam hadits yang pertama “shaumlah” itu bukan wajib, maka ada 2 kemungkian hukum yang bisa diambil:
1. Sunnah
2. Mubah

Shaum adalah suatu amalan yang berkaitan dengan ibadah, maka jika ada perintah yang berhubungan dengan ibadah tetapi tidak wajib, maka hukumnya sunnah. Kalau dikerjakan mendapat pahala jika meninggalkannya tidak berdosa.

Alasan untuk menetapkan hal itu mendapat pahala adalah atas dasar firman Allah swt:

-لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ. -يونس: 26

“Bagi orang-orang yang melakukan kebaikan (akan mendapat) kebaikan dan (disediakan) tambahan (atas kebaikan yang telah diperbuatnya)” –S.Yunus: 26-

Allah swt memberi kabar, bahwasanya siapa saja yang berbuat baik di dunia dengan keimanan (kepada-Nya) maka (balasan) kebaikan di akhirat untuknya, sebagai mana firman Allah:

-هَلْ جَزَاءُ الإِحْسَانِ إِلاّ الإِحْسَانُ. –الرحمن:60

Artinya: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” S. Ar-Rahman: 60.

Kita bisa memahami bahwa orang yang melakukan suatu kebaikan selain mendapatkan balasan atas apa yang telah dia lakukan, terdapat pula tambahan yang disediakan, dan tambahan ini bisa kita sebut sebagai “ganjaran”.

3. Haram:
“Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu“.

Contoh: Nabi saw bersabda:

-لاَتَاْتُوا الكُهَّانَ. –رواه الطبراني

“Janganlah kamu datangi tukang-tukang ramal/dukun“. Hadits riwayat Imam Thabrani.
Mendatangi tukang-tukang ramal/dukun dengan tujuan menyakan sesuatu hal ghaib lalu dipercayainya itu tidak boleh. Kalau orang melakukan hal itu, berdosalah ia.

Alasan untuk pengertian haram ini, diantaranya sama dengan alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian wajib, yaitu Al-Qur’an S.An-Nur: 63.

4. Makruh:
Arti makruh secara bahasa adalah dibenci.
“Suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan“. Atau “meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya“.

Sebagai contoh: Makan binatang buas. Dalam hadits-hadits memang ada larangannya, dan kita memberi hukum (tentang makan binatang buas) itu makruh.
Begini penjelasannya: binatang yang diharamkan untuk dimakan hanya ada satu saja, lihat Al-Qur’an Al-Baqarah: 173 yang berbunyi:

-إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ… –البقرة: 173

“Tidak lain melainkan yang Allah haramkan adalah bangkai ,darah, daging babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah….”

Kata إِنَّمَا dalam bahasa Arab disebut sebagai “huruf hashr” yaitu huruf yang dipakai untuk membatas sesuatu. Kata ini diterjemahkan dengan arti: hanya, tidak lain melainkan. Salah satu hadits Nabi saw yang menggunakan huruf “innama” ini adalah:

إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالْوُضُوْءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلاَةِ

“Tidak lain melainkan aku diperintah berwudhu’ apabila aku akan mengerjakan shalat“. Hadits riwayat Imam Tirmidzi.

Dengan ini berarti bahwa wudhu hanya diwajibkan ketika akan mengerjakan shalat. Lafazh إِنَّمَا pada ayat ini ia berfungsi membatasi bahwa makanan yang diharamkan itu hanya empat yaitu: bangkai, darah, babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah. Maka kalau larangan makan binatang buas itu kita hukumkan haram juga, berarti sabda Nabi saw yang melarang makan binatang buas itu, menentangi Allah, ini tidak mungkin. Berarti binatang buas itu tidak haram, kalau tidak haram maka hukum itu berhadapan dengan 2 kemungkinan yaitu: mubah atau makruh. Jika dihukumkan mubah tidak tepat, karena Nabi saw melarang bukan memerintah. Jadi larangan dari Nabi itu kita ringankan dan larangan yang ringan itu tidak lain melainkan makruh. Maka kesimpulannya: binatang buas itu makruh.

5. Mubah:
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal.
“Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya” atau “Segala sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya“

Contoh: dalam Al-Qur’an ada perintah makan, yaitu:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” Al-A’raf: 31

Akan tetapi perintah ini dianggap mubah. Jika kita mewajibkan perintah makan maka anggapan ini tidak tepat, karena urusan makan atau minum ini adalah hal yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia baik masih balita atau jompo. Sesuatu yang tidak bisa dielak dan menjadi kemestian bagi manusia tidak perlu memberi hukum wajib, maka perintah Allah dalam ayat diatas bukanlah wajib, jika bukan wajib maka ada 2 kemungkian hukum yang dapat kita ambil, yaitu: sunnah atau mubah. Urusan makan atau minum ini adalah bersifat keduniaan dan tidak dijanjikan ganjarannya jika melakukannya, maka jika suatu amal yang tidak mendapat ganjaran maka hal itu termasuk dalam hukum mubah.

WaLLAHU a’lam bis shawaab

Bahan bacaan:
• Tafsir Ibnu Kastir
• Seri Tafsir Ayat-ayat Hukum buku2, luthfie abdullah Ismail
• Mudzakkirah ushulil fiqh, Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali
• Ushul Fiqh, Dr. Husain Hamid
• Taisir Al-Wusul ilal Ushul, ‘Atha bin Khalil diterjemkan oleh Yasin As-Siba’i
• Soal-Jawab, A. Hassan

Sunday, February 8, 2009

Sosok Ya'juj dan Ma'juj

Dalam Al-Quran, kata Ya'juj dan Ma'juj disebutkan dua kali yaitu pada surat Al-Kafhfi ayat 94 dan surat Al-Anbiya 96.

Mereka berkata, "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" (QS. Al-Kafhi: 94).

Hingga apabila dibukakan Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. (QS. Al-Anbiya: 96)

Sosok Ya'juj dan Ma'juj

Para Ulama sepakat bahwa berdasarkan keterangan dari banyak dalil baik Al-Quran mapun sunnah, maka sosok Ya'juj dan Ma'juj ini adalah manusia yang berasal dari keturunan Nabi Adam a.s. Atau tepatnya dari keturuan Nabi Nuh a.s. melalui jalur keturunan Yafits. Yafits adalah salah satu anak Nabi Nuh as. (lihat An-Nihayah/Alfitan dan Malahim jilid. 1 hal. 153).

Dasarnya adalah hadits Rasulullah SAW:

Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Ya'juj dan Ma'juj itu adalah dari anak Adam. Dan kalau diutus kepada manusia pastilah akan membuat kerusakan dan tidak yang mati dari keduanya kecuali meninggalkan seribu keturunan atau lebih. (HR At-Tayalisi)

Kedatangan Ya'juj dan Ma'juj merupakan tanda dari akan segera terjadinya kiamat kubro, yaitu saat mereka bisa terlepas dari penjagaan tanggul/benteng yang telah didirikan untuk memenjarakan mereka di masa Zulkarnain.

Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman:

Mereka berkata, "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" Dzulkarnain berkata, "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan, agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi." Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua gunung itu, berkatalah Dzulkarnain, "Tiuplah." Hingga apabila besi itu sudah menjadi api, diapun berkata, "Berilah aku tembaga agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu." Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa melobanginya. Dzulkarnain berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar." (QS Al-Kahf: 94-98)

Setelah terlepas, mereka akan melakukan kerusakan di muka bumi ini dan menjadi tanda segera datangnya kiamat.

Di Mana Lokasi Ya'juj dan Ma'juj?

Tidak ada nash atau keterangan yang sharih tentang posisi dimana Ya'juj dan Ma'juj itu dipenjarakan oleh Zulkarnain. Yang ada hanyalah keterangan sepotong saja bahwa tempatnya di wilayah timur di sebuah tempat yang diapit oleh dua gunung yang besar. Namun detail lokasinya tidak pernah disebutkan dalam hadits.

Memang ada yang mengatakan bahwa mereka dipenjarakan di daerah Tirmiz, namun ini tetap masih jadi perbedaan di kalangan ahli sejarah. Kita tidak bisa memastikannya karena tidak ada data yang akurat dari sisi nash Quran dan sunnah. Mungkin nanti penemuan ilmiyah di masa mendatang akan bisa memberikan gambaran lebih detail, yaitu pada saat terjadi peristiwa tersebut.

Wallahu a'lam bishshawab.


Ditulis oleh Hari Kuswanto
Saturday, 19 January 2008

Dalam Al-Quran, kata Ya'juj dan Ma'juj disebutkan dua kali yaitu pada surat Al-Kafhfi ayat 94 dan surat Al-Anbiya 96.

Mereka berkata, "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" (QS. Al-Kafhi: 94).

Hingga apabila dibukakan Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. (QS. Al-Anbiya: 96)

Sosok Ya'juj dan Ma'juj

Para Ulama sepakat bahwa berdasarkan keterangan dari banyak dalil baik Al-Quran mapun sunnah, maka sosok Ya'juj dan Ma'juj ini adalah manusia yang berasal dari keturunan Nabi Adam a.s. Atau tepatnya dari keturuan Nabi Nuh a.s. melalui jalur keturunan Yafits. Yafits adalah salah satu anak Nabi Nuh as. (lihat An-Nihayah/Alfitan dan Malahim jilid. 1 hal. 153).

Dasarnya adalah hadits Rasulullah SAW:

Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Ya'juj dan Ma'juj itu adalah dari anak Adam. Dan kalau diutus kepada manusia pastilah akan membuat kerusakan dan tidak yang mati dari keduanya kecuali meninggalkan seribu keturunan atau lebih. (HR At-Tayalisi)

Kedatangan Ya'juj dan Ma'juj merupakan tanda dari akan segera terjadinya kiamat kubro, yaitu saat mereka bisa terlepas dari penjagaan tanggul/benteng yang telah didirikan untuk memenjarakan mereka di masa Zulkarnain.

Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman:

Mereka berkata, "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" Dzulkarnain berkata, "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan, agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi." Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua gunung itu, berkatalah Dzulkarnain, "Tiuplah." Hingga apabila besi itu sudah menjadi api, diapun berkata, "Berilah aku tembaga agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu." Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa melobanginya. Dzulkarnain berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar." (QS Al-Kahf: 94-98)

Setelah terlepas, mereka akan melakukan kerusakan di muka bumi ini dan menjadi tanda segera datangnya kiamat.

Di Mana Lokasi Ya'juj dan Ma'juj?

Tidak ada nash atau keterangan yang sharih tentang posisi dimana Ya'juj dan Ma'juj itu dipenjarakan oleh Zulkarnain. Yang ada hanyalah keterangan sepotong saja bahwa tempatnya di wilayah timur di sebuah tempat yang diapit oleh dua gunung yang besar. Namun detail lokasinya tidak pernah disebutkan dalam hadits.

Memang ada yang mengatakan bahwa mereka dipenjarakan di daerah Tirmiz, namun ini tetap masih jadi perbedaan di kalangan ahli sejarah. Kita tidak bisa memastikannya karena tidak ada data yang akurat dari sisi nash Quran dan sunnah. Mungkin nanti penemuan ilmiyah di masa mendatang akan bisa memberikan gambaran lebih detail, yaitu pada saat terjadi peristiwa tersebut.

Wallahu a'lam bishshawab.


Ditulis oleh Hari Kuswanto
Saturday, 19 January 2008

Meniru Orang Kafir

Banyak kaum Muslim yang terbawa arus peradaban Barat maupun kebiasaan-kebiasaan yang bukan berasal dari Islam, seperti mengikuti perayaan tahun baru Masehi atau bahkan merayakan Natal bersama. Bagaimana hukumnya?



Pada awalnya, Rasulullah saw. memang membolehkan kaum Muslim untuk meniru-niru (perbuatan/kebiasaan) orang-orang kafir (ahli kitab) dan menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan orang-orang musyrik. Hal itu tampak pada hadis berikut (yang artinya):

Nabi saw (pada awalnya) suka melakukan sesuatu yang sesuai dengan yang dilakukan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam perkara yang tidak dilarang. Ahli kitab tidak suka memotong rambut (membiarkannya panjang), sedangkan orang-orang musyrik membelah rambutnya di tengah-tengah. Kemudian Rasulullah saw. membiarkan rambutnya memanjang dan memotongnya sebagian. (HR Bukhari).

Namun, hadis tersebut kemudian di-nasakh (dihapus hukumnya), sehingga perbuatan kaum Muslim yang meniru-niru kebiasaan ahli kitab tidak lagi dibenarkan. Mengomentari hadis tersebut, Ibn Hajar al-Asqalani berkata:



Rasulullah saw. sering meniru-niru ahli kitab untuk menarik simpati mereka dan apa yang dilakukannya itu berlawanan dengan perbuatan orang musyrik. Tatkala orang-orang musyrik banyak yang masuk Islam (di Madinah), sementara ahli kitab (banyak yang) tetap mempertahankan kekufurannya, maka Rasulullah saw. segera meninggalkan perbuatannya yang meniru-niru ahli kitab. (Fath al-Bâri, jld. X/361-362).

Jadi, apa yang dilakukan Rasulullah saw. saat itu dengan meniru-niru kebiasaan ahli kitab adalah dalam rangka meraih suartu maksud/kepentingan, yakni ingin menarik simpati mereka.

Sikap membedakan diri dengan kebiasaan orang-orang musyrik (baik Majusi maupun penyembah berhala), juga dengan ahli kitab sangat tegas dilakukan oleh Rasulullah saw. dan kaum Muslim. Hal itu tampak, misalnya, pada beberapa kebiasaan berikut(sebagai contoh):

1.Berubahnya arah kiblat, yang semula menghadap masjid al-Aqsha ke arah masjid al-Haram (Baitullah). Itu ditandai dengan diturunkannya firman Allah Swt.:
2.Sungguh Kami sering melihat mukamu tengadah ke langit (menunggu perintah/wahyu agar beliau menghadapkan shalatnya ke masjid al-haram). Lalu Kami memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai. (QS al-Baqarah [2]: 144).
3.Cara salam kaum Muslim berbeda dengan ahli kitab. Rasul bersabda:
Janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani. Cara salam orang-orang Yahudi adalah dengan isyarat (jari tangannya), sedangkan cara salam orang-orang Nasrani adalah dengan (telapak) tangannya. (HR at-Tirmidzi).
4.Mencukur kumis dan memanjangkan jenggot. Rasulullah saw. bersabda:
Panjangkanlah jenggot, cukurlah kumis, dan semirlah ubanmu; jangan menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani. (HR Ahmad, Ibn Hibban, dan at-Tirmidzi).
5.Membedakan pelaksanaan shaum sunnat dari tanggal 10 asy-Syura (10 Muharram) yang merupakan hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi puasa sunnat pada tanggal 9 Muharram. Rasulullah saw. bersabda:
Pada tahun depan, insya Allah, kita akan melakukan shaum pada hari kesembilan (9 Muharram). (HR Muslim).




Masih banyak lagi perkara-perkara lain yang secara sengaja Rasulullah saw. membedakan diri dengan orang-orang kafir maupun musyrik, seperti membedakan dua hari raya (Nairuz dan Maharjan, perayaan bangsa Persia) dengan dua Id (yakni Idul Fitri dan Idul Adha). Dibolehkan bergaul dengan istri yang sedang haid kecuali berhubungan suami istri. Hal ini amat berbeda dengan kebiasaan orang Yahudi yang menjauhkan istri-istri mereka yang haid bahkan tidak boleh berkumpul (makan bersama). Rasulullah saw. membolehkan mengecat rambut, sedangkan kebiasaan orang Yahudi dan Nasrani saat itu tidak mengecat rambutnya. Demikian seterusnya.

Perbuatan Rasulullah saw ini. membuat jengkel dan geram orang-orang kafir. Mereka (orang-orang Yahudi) sampai mengatakan, “Orang ini (Rasulullah saw.) selalu saja tidak pernah rela melihat kebiasaan yang kita lakukan, melainkan ia segera melakukan sesuatu yang berlawanan.” (HR Muslim).

Imam Ibn Hajar al-Asqalani telah mengumpulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan Rasulullah yang secara sengaja membedakan diri hingga berjumlah sekitar 30 macam. Semuanya dikumpulkan dalam kitabnya secara khusus, yang berjudul, Al-Qawli ats-Tsâbit fi ash-Shawmi Yawmu as-Sabt.

Dengan demikian, perbuatan atau kebiasaan apa saja yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan orang-orang kafir, yang terpengaruh oleh ideologi/ajaran agama ataupun pemikiran mereka, tidak boleh diikuti dan ditiru-tiru kaum Muslim; termasuk mengiktu perayaan/kebiasaan menyambut tahun baru Masehi. Sebab, Rasulullah saw. telah memberikan kepada kita peringatan hanya pada dua hari saja, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Selebihnya tidak.

Di samping itu, secara tegas Rasulullah saw. mengelompokkan kaum Muslim yang mengikuti perayaan/kebiasaan orang-orang kafir sama seperti mereka dan tidak termasuk golongan Rasul (kaum Muslim). Rasulullah saw. bersabda:
- Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, ia termasuk golongan mereka. (HR Abu Daud dan Ahmad).
- Tidak termasuk golonganku orang-orang yang menyerupai selain golonganku. (HR at- Tirmidzi).



http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/18/hukum-meniru-niru-kebiasaan-orang-kafir/

Banyak kaum Muslim yang terbawa arus peradaban Barat maupun kebiasaan-kebiasaan yang bukan berasal dari Islam, seperti mengikuti perayaan tahun baru Masehi atau bahkan merayakan Natal bersama. Bagaimana hukumnya?



Pada awalnya, Rasulullah saw. memang membolehkan kaum Muslim untuk meniru-niru (perbuatan/kebiasaan) orang-orang kafir (ahli kitab) dan menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan orang-orang musyrik. Hal itu tampak pada hadis berikut (yang artinya):

Nabi saw (pada awalnya) suka melakukan sesuatu yang sesuai dengan yang dilakukan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam perkara yang tidak dilarang. Ahli kitab tidak suka memotong rambut (membiarkannya panjang), sedangkan orang-orang musyrik membelah rambutnya di tengah-tengah. Kemudian Rasulullah saw. membiarkan rambutnya memanjang dan memotongnya sebagian. (HR Bukhari).

Namun, hadis tersebut kemudian di-nasakh (dihapus hukumnya), sehingga perbuatan kaum Muslim yang meniru-niru kebiasaan ahli kitab tidak lagi dibenarkan. Mengomentari hadis tersebut, Ibn Hajar al-Asqalani berkata:



Rasulullah saw. sering meniru-niru ahli kitab untuk menarik simpati mereka dan apa yang dilakukannya itu berlawanan dengan perbuatan orang musyrik. Tatkala orang-orang musyrik banyak yang masuk Islam (di Madinah), sementara ahli kitab (banyak yang) tetap mempertahankan kekufurannya, maka Rasulullah saw. segera meninggalkan perbuatannya yang meniru-niru ahli kitab. (Fath al-Bâri, jld. X/361-362).

Jadi, apa yang dilakukan Rasulullah saw. saat itu dengan meniru-niru kebiasaan ahli kitab adalah dalam rangka meraih suartu maksud/kepentingan, yakni ingin menarik simpati mereka.

Sikap membedakan diri dengan kebiasaan orang-orang musyrik (baik Majusi maupun penyembah berhala), juga dengan ahli kitab sangat tegas dilakukan oleh Rasulullah saw. dan kaum Muslim. Hal itu tampak, misalnya, pada beberapa kebiasaan berikut(sebagai contoh):

1.Berubahnya arah kiblat, yang semula menghadap masjid al-Aqsha ke arah masjid al-Haram (Baitullah). Itu ditandai dengan diturunkannya firman Allah Swt.:
2.Sungguh Kami sering melihat mukamu tengadah ke langit (menunggu perintah/wahyu agar beliau menghadapkan shalatnya ke masjid al-haram). Lalu Kami memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai. (QS al-Baqarah [2]: 144).
3.Cara salam kaum Muslim berbeda dengan ahli kitab. Rasul bersabda:
Janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani. Cara salam orang-orang Yahudi adalah dengan isyarat (jari tangannya), sedangkan cara salam orang-orang Nasrani adalah dengan (telapak) tangannya. (HR at-Tirmidzi).
4.Mencukur kumis dan memanjangkan jenggot. Rasulullah saw. bersabda:
Panjangkanlah jenggot, cukurlah kumis, dan semirlah ubanmu; jangan menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani. (HR Ahmad, Ibn Hibban, dan at-Tirmidzi).
5.Membedakan pelaksanaan shaum sunnat dari tanggal 10 asy-Syura (10 Muharram) yang merupakan hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi puasa sunnat pada tanggal 9 Muharram. Rasulullah saw. bersabda:
Pada tahun depan, insya Allah, kita akan melakukan shaum pada hari kesembilan (9 Muharram). (HR Muslim).




Masih banyak lagi perkara-perkara lain yang secara sengaja Rasulullah saw. membedakan diri dengan orang-orang kafir maupun musyrik, seperti membedakan dua hari raya (Nairuz dan Maharjan, perayaan bangsa Persia) dengan dua Id (yakni Idul Fitri dan Idul Adha). Dibolehkan bergaul dengan istri yang sedang haid kecuali berhubungan suami istri. Hal ini amat berbeda dengan kebiasaan orang Yahudi yang menjauhkan istri-istri mereka yang haid bahkan tidak boleh berkumpul (makan bersama). Rasulullah saw. membolehkan mengecat rambut, sedangkan kebiasaan orang Yahudi dan Nasrani saat itu tidak mengecat rambutnya. Demikian seterusnya.

Perbuatan Rasulullah saw ini. membuat jengkel dan geram orang-orang kafir. Mereka (orang-orang Yahudi) sampai mengatakan, “Orang ini (Rasulullah saw.) selalu saja tidak pernah rela melihat kebiasaan yang kita lakukan, melainkan ia segera melakukan sesuatu yang berlawanan.” (HR Muslim).

Imam Ibn Hajar al-Asqalani telah mengumpulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan Rasulullah yang secara sengaja membedakan diri hingga berjumlah sekitar 30 macam. Semuanya dikumpulkan dalam kitabnya secara khusus, yang berjudul, Al-Qawli ats-Tsâbit fi ash-Shawmi Yawmu as-Sabt.

Dengan demikian, perbuatan atau kebiasaan apa saja yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan orang-orang kafir, yang terpengaruh oleh ideologi/ajaran agama ataupun pemikiran mereka, tidak boleh diikuti dan ditiru-tiru kaum Muslim; termasuk mengiktu perayaan/kebiasaan menyambut tahun baru Masehi. Sebab, Rasulullah saw. telah memberikan kepada kita peringatan hanya pada dua hari saja, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Selebihnya tidak.

Di samping itu, secara tegas Rasulullah saw. mengelompokkan kaum Muslim yang mengikuti perayaan/kebiasaan orang-orang kafir sama seperti mereka dan tidak termasuk golongan Rasul (kaum Muslim). Rasulullah saw. bersabda:
- Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, ia termasuk golongan mereka. (HR Abu Daud dan Ahmad).
- Tidak termasuk golonganku orang-orang yang menyerupai selain golonganku. (HR at- Tirmidzi).



http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/18/hukum-meniru-niru-kebiasaan-orang-kafir/

Hukum Mewarnai Rambut

Hukum Mewarnai Rambut



Menyemir rambut tidak terlarang asalkan bukan berwarna hitam. Bahkan dalam konteks upaya membedakan diri dari pemeluk agama lain dimasa itu, Rasulullah pernah memerintahkan untuk menyemir atau mewarnakan rambut. Sebagaimana yang bisa kita baca di dalam hadits Rasulullah SAW berikut ini:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka." (Riwayat Bukhari)

Perintah di sini mengandung arti sunnah bukan kewajiban. Sehingga dikerjakan oleh sebagian sahabat, misalnya Abubakar dan Umar, sedang shahabat yang lain tidak melakukannya, seperti Ali, Ubai bin Kaab dan Anas.

Tetapi warna apakah semir yang dibolehkan itu? Dengan warna hitam dan yang lainkah atau harus menjauhi warna hitam? Namun yang jelas, bagi orang yang sudah tua, ubannya sudah merata baik di kepalanya ataupun jenggotnya, tidak layak menyemir dengan warna hitam. Oleh karena itu tatkala Abu Bakar membawa ayahnya, Abu Kuhafah, ke hadapan Nabi pada hari penaklukan Makkah, sedang Nabi melihat rambutnya bagaikan pohon tsaghamah yang serba putih buahnya maupun bunganya, beliau bersabda,

"Ubahlah ini (uban) tetapi jauhilah warna hitam." (Riwayat Muslim)

Adapun orang yang tidak seumur dengan Abu Kuhafah (yakni belum begitu tua), tidaklah berdosa apabila menyemir rambutnya itu dengan warna hitam. Dalam hal ini, Az-Zuhri pernah berkata, "Kami menyemir rambut dengan warna hitam apabila wajah masih nampak muda, tetapi kalau wajah sudah mengerut dan gigi pun telah goyah, kami tinggalkan warna hitam tersebut."

Termasuk yang membolehkan menyemir dengan warna hitam ini ialah segolongan dari ulama salaf termasuk para sahabat, seperti Saad bin Abu Waqqash ra, Uqbah bin Amir r.a., Hasan ra, Husen r.a., Jarir dan lain-lain.

Sedang dari kalangan para ulama ada yang berpendapat tidak boleh menyemir rambut dengan warna hitam kecuali dalam keadaan perang, supaya dapat menakutkan musuh, kalau mereka melihat tentara-tentara Islam semuanya masih nampak muda.

Dalil lainnya tentang kebolehan mewarnai rambut adalah:

Dari Abu Dzar ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir uban ialah pohon inai dan katam." (Riwayat Tarmizi dan Ashabussunan)

Inai berwarna merah, sedang katam sebuah pohon yang tumbuh di zaman Rasulullah s.a.w. yang mengeluarkan zat berwarna hitam kemerah-merahan.

Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Abubakar menyemir rambutnya dengan inai dan katam, sedang Umar hanya dengan inai saja.

Juga ada hadits lainnya lagi tentang mewarnai rambut seperti hadits berikut:

"Sesungguhnya sebaik-baik alat yang kamu pergunakan untuk mengubah warna ubanmu adalah hinna' dan katam." (HR at-Tirmidzi dan Ashabus Sunnan)

Hinna' adalah pewarna rambut berwarna merah sedangkan katam adalah pohon Yaman yang mengeluarkan zat pewarna hitam kemerah-merahan.

Beragam Pendapat Ulama

Secara rebih rinci lagi, mari kita lihat sekilas bagaimana konfigurasi singkat pendapat para ulama tentang mengecat atau mewarnai rambut dengan warna hitam:

1.

Ulama Hanabilah, Malikiyah dan Hanafiyah menyatakan bahwasanya mengecat dengan warna hitam dimakruhkan kecuali bagi orang yang akan pergi berperang karena ada ijma yang menyatakan kebolehannya.
2.

Abu Yusuf dari ulama Hanafiyah berpendapat bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam dibolehkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: "Sesungguhnya sebaik-baiknya warna untuk mengecat rambut adalah warna hitam ini, karena akan lebih menarik untuk istri-istri kalian dan lebih berwibawa di hadapan musuh-musuh kalian" (Tuhfatul Ahwadzi 5/436)
3.

Ulama Madzhab Syafi'i berpendapat bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam diharamkan kecuali bagi orang-orang yang akan berperang. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW:

"Akan ada pada akhir zaman orang-orang yang akan mengecat rambut mereka dengan warna hitam, mereka tidak akan mencium bau surga"(HR. Abu Daud, An-Nasa'i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)


Ditulis oleh Hari Kuswanto
Sunday, 03 February 2008

Hukum Mewarnai Rambut



Menyemir rambut tidak terlarang asalkan bukan berwarna hitam. Bahkan dalam konteks upaya membedakan diri dari pemeluk agama lain dimasa itu, Rasulullah pernah memerintahkan untuk menyemir atau mewarnakan rambut. Sebagaimana yang bisa kita baca di dalam hadits Rasulullah SAW berikut ini:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka." (Riwayat Bukhari)

Perintah di sini mengandung arti sunnah bukan kewajiban. Sehingga dikerjakan oleh sebagian sahabat, misalnya Abubakar dan Umar, sedang shahabat yang lain tidak melakukannya, seperti Ali, Ubai bin Kaab dan Anas.

Tetapi warna apakah semir yang dibolehkan itu? Dengan warna hitam dan yang lainkah atau harus menjauhi warna hitam? Namun yang jelas, bagi orang yang sudah tua, ubannya sudah merata baik di kepalanya ataupun jenggotnya, tidak layak menyemir dengan warna hitam. Oleh karena itu tatkala Abu Bakar membawa ayahnya, Abu Kuhafah, ke hadapan Nabi pada hari penaklukan Makkah, sedang Nabi melihat rambutnya bagaikan pohon tsaghamah yang serba putih buahnya maupun bunganya, beliau bersabda,

"Ubahlah ini (uban) tetapi jauhilah warna hitam." (Riwayat Muslim)

Adapun orang yang tidak seumur dengan Abu Kuhafah (yakni belum begitu tua), tidaklah berdosa apabila menyemir rambutnya itu dengan warna hitam. Dalam hal ini, Az-Zuhri pernah berkata, "Kami menyemir rambut dengan warna hitam apabila wajah masih nampak muda, tetapi kalau wajah sudah mengerut dan gigi pun telah goyah, kami tinggalkan warna hitam tersebut."

Termasuk yang membolehkan menyemir dengan warna hitam ini ialah segolongan dari ulama salaf termasuk para sahabat, seperti Saad bin Abu Waqqash ra, Uqbah bin Amir r.a., Hasan ra, Husen r.a., Jarir dan lain-lain.

Sedang dari kalangan para ulama ada yang berpendapat tidak boleh menyemir rambut dengan warna hitam kecuali dalam keadaan perang, supaya dapat menakutkan musuh, kalau mereka melihat tentara-tentara Islam semuanya masih nampak muda.

Dalil lainnya tentang kebolehan mewarnai rambut adalah:

Dari Abu Dzar ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir uban ialah pohon inai dan katam." (Riwayat Tarmizi dan Ashabussunan)

Inai berwarna merah, sedang katam sebuah pohon yang tumbuh di zaman Rasulullah s.a.w. yang mengeluarkan zat berwarna hitam kemerah-merahan.

Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Abubakar menyemir rambutnya dengan inai dan katam, sedang Umar hanya dengan inai saja.

Juga ada hadits lainnya lagi tentang mewarnai rambut seperti hadits berikut:

"Sesungguhnya sebaik-baik alat yang kamu pergunakan untuk mengubah warna ubanmu adalah hinna' dan katam." (HR at-Tirmidzi dan Ashabus Sunnan)

Hinna' adalah pewarna rambut berwarna merah sedangkan katam adalah pohon Yaman yang mengeluarkan zat pewarna hitam kemerah-merahan.

Beragam Pendapat Ulama

Secara rebih rinci lagi, mari kita lihat sekilas bagaimana konfigurasi singkat pendapat para ulama tentang mengecat atau mewarnai rambut dengan warna hitam:

1.

Ulama Hanabilah, Malikiyah dan Hanafiyah menyatakan bahwasanya mengecat dengan warna hitam dimakruhkan kecuali bagi orang yang akan pergi berperang karena ada ijma yang menyatakan kebolehannya.
2.

Abu Yusuf dari ulama Hanafiyah berpendapat bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam dibolehkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: "Sesungguhnya sebaik-baiknya warna untuk mengecat rambut adalah warna hitam ini, karena akan lebih menarik untuk istri-istri kalian dan lebih berwibawa di hadapan musuh-musuh kalian" (Tuhfatul Ahwadzi 5/436)
3.

Ulama Madzhab Syafi'i berpendapat bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam diharamkan kecuali bagi orang-orang yang akan berperang. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW:

"Akan ada pada akhir zaman orang-orang yang akan mengecat rambut mereka dengan warna hitam, mereka tidak akan mencium bau surga"(HR. Abu Daud, An-Nasa'i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)


Ditulis oleh Hari Kuswanto
Sunday, 03 February 2008