Google

Sunday, February 8, 2009

Sosok Ya'juj dan Ma'juj

Dalam Al-Quran, kata Ya'juj dan Ma'juj disebutkan dua kali yaitu pada surat Al-Kafhfi ayat 94 dan surat Al-Anbiya 96.

Mereka berkata, "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" (QS. Al-Kafhi: 94).

Hingga apabila dibukakan Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. (QS. Al-Anbiya: 96)

Sosok Ya'juj dan Ma'juj

Para Ulama sepakat bahwa berdasarkan keterangan dari banyak dalil baik Al-Quran mapun sunnah, maka sosok Ya'juj dan Ma'juj ini adalah manusia yang berasal dari keturunan Nabi Adam a.s. Atau tepatnya dari keturuan Nabi Nuh a.s. melalui jalur keturunan Yafits. Yafits adalah salah satu anak Nabi Nuh as. (lihat An-Nihayah/Alfitan dan Malahim jilid. 1 hal. 153).

Dasarnya adalah hadits Rasulullah SAW:

Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Ya'juj dan Ma'juj itu adalah dari anak Adam. Dan kalau diutus kepada manusia pastilah akan membuat kerusakan dan tidak yang mati dari keduanya kecuali meninggalkan seribu keturunan atau lebih. (HR At-Tayalisi)

Kedatangan Ya'juj dan Ma'juj merupakan tanda dari akan segera terjadinya kiamat kubro, yaitu saat mereka bisa terlepas dari penjagaan tanggul/benteng yang telah didirikan untuk memenjarakan mereka di masa Zulkarnain.

Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman:

Mereka berkata, "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" Dzulkarnain berkata, "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan, agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi." Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua gunung itu, berkatalah Dzulkarnain, "Tiuplah." Hingga apabila besi itu sudah menjadi api, diapun berkata, "Berilah aku tembaga agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu." Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa melobanginya. Dzulkarnain berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar." (QS Al-Kahf: 94-98)

Setelah terlepas, mereka akan melakukan kerusakan di muka bumi ini dan menjadi tanda segera datangnya kiamat.

Di Mana Lokasi Ya'juj dan Ma'juj?

Tidak ada nash atau keterangan yang sharih tentang posisi dimana Ya'juj dan Ma'juj itu dipenjarakan oleh Zulkarnain. Yang ada hanyalah keterangan sepotong saja bahwa tempatnya di wilayah timur di sebuah tempat yang diapit oleh dua gunung yang besar. Namun detail lokasinya tidak pernah disebutkan dalam hadits.

Memang ada yang mengatakan bahwa mereka dipenjarakan di daerah Tirmiz, namun ini tetap masih jadi perbedaan di kalangan ahli sejarah. Kita tidak bisa memastikannya karena tidak ada data yang akurat dari sisi nash Quran dan sunnah. Mungkin nanti penemuan ilmiyah di masa mendatang akan bisa memberikan gambaran lebih detail, yaitu pada saat terjadi peristiwa tersebut.

Wallahu a'lam bishshawab.


Ditulis oleh Hari Kuswanto
Saturday, 19 January 2008

Dalam Al-Quran, kata Ya'juj dan Ma'juj disebutkan dua kali yaitu pada surat Al-Kafhfi ayat 94 dan surat Al-Anbiya 96.

Mereka berkata, "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" (QS. Al-Kafhi: 94).

Hingga apabila dibukakan Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. (QS. Al-Anbiya: 96)

Sosok Ya'juj dan Ma'juj

Para Ulama sepakat bahwa berdasarkan keterangan dari banyak dalil baik Al-Quran mapun sunnah, maka sosok Ya'juj dan Ma'juj ini adalah manusia yang berasal dari keturunan Nabi Adam a.s. Atau tepatnya dari keturuan Nabi Nuh a.s. melalui jalur keturunan Yafits. Yafits adalah salah satu anak Nabi Nuh as. (lihat An-Nihayah/Alfitan dan Malahim jilid. 1 hal. 153).

Dasarnya adalah hadits Rasulullah SAW:

Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Ya'juj dan Ma'juj itu adalah dari anak Adam. Dan kalau diutus kepada manusia pastilah akan membuat kerusakan dan tidak yang mati dari keduanya kecuali meninggalkan seribu keturunan atau lebih. (HR At-Tayalisi)

Kedatangan Ya'juj dan Ma'juj merupakan tanda dari akan segera terjadinya kiamat kubro, yaitu saat mereka bisa terlepas dari penjagaan tanggul/benteng yang telah didirikan untuk memenjarakan mereka di masa Zulkarnain.

Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman:

Mereka berkata, "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" Dzulkarnain berkata, "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan, agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi." Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua gunung itu, berkatalah Dzulkarnain, "Tiuplah." Hingga apabila besi itu sudah menjadi api, diapun berkata, "Berilah aku tembaga agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu." Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa melobanginya. Dzulkarnain berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar." (QS Al-Kahf: 94-98)

Setelah terlepas, mereka akan melakukan kerusakan di muka bumi ini dan menjadi tanda segera datangnya kiamat.

Di Mana Lokasi Ya'juj dan Ma'juj?

Tidak ada nash atau keterangan yang sharih tentang posisi dimana Ya'juj dan Ma'juj itu dipenjarakan oleh Zulkarnain. Yang ada hanyalah keterangan sepotong saja bahwa tempatnya di wilayah timur di sebuah tempat yang diapit oleh dua gunung yang besar. Namun detail lokasinya tidak pernah disebutkan dalam hadits.

Memang ada yang mengatakan bahwa mereka dipenjarakan di daerah Tirmiz, namun ini tetap masih jadi perbedaan di kalangan ahli sejarah. Kita tidak bisa memastikannya karena tidak ada data yang akurat dari sisi nash Quran dan sunnah. Mungkin nanti penemuan ilmiyah di masa mendatang akan bisa memberikan gambaran lebih detail, yaitu pada saat terjadi peristiwa tersebut.

Wallahu a'lam bishshawab.


Ditulis oleh Hari Kuswanto
Saturday, 19 January 2008

Meniru Orang Kafir

Banyak kaum Muslim yang terbawa arus peradaban Barat maupun kebiasaan-kebiasaan yang bukan berasal dari Islam, seperti mengikuti perayaan tahun baru Masehi atau bahkan merayakan Natal bersama. Bagaimana hukumnya?



Pada awalnya, Rasulullah saw. memang membolehkan kaum Muslim untuk meniru-niru (perbuatan/kebiasaan) orang-orang kafir (ahli kitab) dan menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan orang-orang musyrik. Hal itu tampak pada hadis berikut (yang artinya):

Nabi saw (pada awalnya) suka melakukan sesuatu yang sesuai dengan yang dilakukan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam perkara yang tidak dilarang. Ahli kitab tidak suka memotong rambut (membiarkannya panjang), sedangkan orang-orang musyrik membelah rambutnya di tengah-tengah. Kemudian Rasulullah saw. membiarkan rambutnya memanjang dan memotongnya sebagian. (HR Bukhari).

Namun, hadis tersebut kemudian di-nasakh (dihapus hukumnya), sehingga perbuatan kaum Muslim yang meniru-niru kebiasaan ahli kitab tidak lagi dibenarkan. Mengomentari hadis tersebut, Ibn Hajar al-Asqalani berkata:



Rasulullah saw. sering meniru-niru ahli kitab untuk menarik simpati mereka dan apa yang dilakukannya itu berlawanan dengan perbuatan orang musyrik. Tatkala orang-orang musyrik banyak yang masuk Islam (di Madinah), sementara ahli kitab (banyak yang) tetap mempertahankan kekufurannya, maka Rasulullah saw. segera meninggalkan perbuatannya yang meniru-niru ahli kitab. (Fath al-Bâri, jld. X/361-362).

Jadi, apa yang dilakukan Rasulullah saw. saat itu dengan meniru-niru kebiasaan ahli kitab adalah dalam rangka meraih suartu maksud/kepentingan, yakni ingin menarik simpati mereka.

Sikap membedakan diri dengan kebiasaan orang-orang musyrik (baik Majusi maupun penyembah berhala), juga dengan ahli kitab sangat tegas dilakukan oleh Rasulullah saw. dan kaum Muslim. Hal itu tampak, misalnya, pada beberapa kebiasaan berikut(sebagai contoh):

1.Berubahnya arah kiblat, yang semula menghadap masjid al-Aqsha ke arah masjid al-Haram (Baitullah). Itu ditandai dengan diturunkannya firman Allah Swt.:
2.Sungguh Kami sering melihat mukamu tengadah ke langit (menunggu perintah/wahyu agar beliau menghadapkan shalatnya ke masjid al-haram). Lalu Kami memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai. (QS al-Baqarah [2]: 144).
3.Cara salam kaum Muslim berbeda dengan ahli kitab. Rasul bersabda:
Janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani. Cara salam orang-orang Yahudi adalah dengan isyarat (jari tangannya), sedangkan cara salam orang-orang Nasrani adalah dengan (telapak) tangannya. (HR at-Tirmidzi).
4.Mencukur kumis dan memanjangkan jenggot. Rasulullah saw. bersabda:
Panjangkanlah jenggot, cukurlah kumis, dan semirlah ubanmu; jangan menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani. (HR Ahmad, Ibn Hibban, dan at-Tirmidzi).
5.Membedakan pelaksanaan shaum sunnat dari tanggal 10 asy-Syura (10 Muharram) yang merupakan hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi puasa sunnat pada tanggal 9 Muharram. Rasulullah saw. bersabda:
Pada tahun depan, insya Allah, kita akan melakukan shaum pada hari kesembilan (9 Muharram). (HR Muslim).




Masih banyak lagi perkara-perkara lain yang secara sengaja Rasulullah saw. membedakan diri dengan orang-orang kafir maupun musyrik, seperti membedakan dua hari raya (Nairuz dan Maharjan, perayaan bangsa Persia) dengan dua Id (yakni Idul Fitri dan Idul Adha). Dibolehkan bergaul dengan istri yang sedang haid kecuali berhubungan suami istri. Hal ini amat berbeda dengan kebiasaan orang Yahudi yang menjauhkan istri-istri mereka yang haid bahkan tidak boleh berkumpul (makan bersama). Rasulullah saw. membolehkan mengecat rambut, sedangkan kebiasaan orang Yahudi dan Nasrani saat itu tidak mengecat rambutnya. Demikian seterusnya.

Perbuatan Rasulullah saw ini. membuat jengkel dan geram orang-orang kafir. Mereka (orang-orang Yahudi) sampai mengatakan, “Orang ini (Rasulullah saw.) selalu saja tidak pernah rela melihat kebiasaan yang kita lakukan, melainkan ia segera melakukan sesuatu yang berlawanan.” (HR Muslim).

Imam Ibn Hajar al-Asqalani telah mengumpulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan Rasulullah yang secara sengaja membedakan diri hingga berjumlah sekitar 30 macam. Semuanya dikumpulkan dalam kitabnya secara khusus, yang berjudul, Al-Qawli ats-Tsâbit fi ash-Shawmi Yawmu as-Sabt.

Dengan demikian, perbuatan atau kebiasaan apa saja yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan orang-orang kafir, yang terpengaruh oleh ideologi/ajaran agama ataupun pemikiran mereka, tidak boleh diikuti dan ditiru-tiru kaum Muslim; termasuk mengiktu perayaan/kebiasaan menyambut tahun baru Masehi. Sebab, Rasulullah saw. telah memberikan kepada kita peringatan hanya pada dua hari saja, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Selebihnya tidak.

Di samping itu, secara tegas Rasulullah saw. mengelompokkan kaum Muslim yang mengikuti perayaan/kebiasaan orang-orang kafir sama seperti mereka dan tidak termasuk golongan Rasul (kaum Muslim). Rasulullah saw. bersabda:
- Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, ia termasuk golongan mereka. (HR Abu Daud dan Ahmad).
- Tidak termasuk golonganku orang-orang yang menyerupai selain golonganku. (HR at- Tirmidzi).



http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/18/hukum-meniru-niru-kebiasaan-orang-kafir/

Banyak kaum Muslim yang terbawa arus peradaban Barat maupun kebiasaan-kebiasaan yang bukan berasal dari Islam, seperti mengikuti perayaan tahun baru Masehi atau bahkan merayakan Natal bersama. Bagaimana hukumnya?



Pada awalnya, Rasulullah saw. memang membolehkan kaum Muslim untuk meniru-niru (perbuatan/kebiasaan) orang-orang kafir (ahli kitab) dan menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan orang-orang musyrik. Hal itu tampak pada hadis berikut (yang artinya):

Nabi saw (pada awalnya) suka melakukan sesuatu yang sesuai dengan yang dilakukan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam perkara yang tidak dilarang. Ahli kitab tidak suka memotong rambut (membiarkannya panjang), sedangkan orang-orang musyrik membelah rambutnya di tengah-tengah. Kemudian Rasulullah saw. membiarkan rambutnya memanjang dan memotongnya sebagian. (HR Bukhari).

Namun, hadis tersebut kemudian di-nasakh (dihapus hukumnya), sehingga perbuatan kaum Muslim yang meniru-niru kebiasaan ahli kitab tidak lagi dibenarkan. Mengomentari hadis tersebut, Ibn Hajar al-Asqalani berkata:



Rasulullah saw. sering meniru-niru ahli kitab untuk menarik simpati mereka dan apa yang dilakukannya itu berlawanan dengan perbuatan orang musyrik. Tatkala orang-orang musyrik banyak yang masuk Islam (di Madinah), sementara ahli kitab (banyak yang) tetap mempertahankan kekufurannya, maka Rasulullah saw. segera meninggalkan perbuatannya yang meniru-niru ahli kitab. (Fath al-Bâri, jld. X/361-362).

Jadi, apa yang dilakukan Rasulullah saw. saat itu dengan meniru-niru kebiasaan ahli kitab adalah dalam rangka meraih suartu maksud/kepentingan, yakni ingin menarik simpati mereka.

Sikap membedakan diri dengan kebiasaan orang-orang musyrik (baik Majusi maupun penyembah berhala), juga dengan ahli kitab sangat tegas dilakukan oleh Rasulullah saw. dan kaum Muslim. Hal itu tampak, misalnya, pada beberapa kebiasaan berikut(sebagai contoh):

1.Berubahnya arah kiblat, yang semula menghadap masjid al-Aqsha ke arah masjid al-Haram (Baitullah). Itu ditandai dengan diturunkannya firman Allah Swt.:
2.Sungguh Kami sering melihat mukamu tengadah ke langit (menunggu perintah/wahyu agar beliau menghadapkan shalatnya ke masjid al-haram). Lalu Kami memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai. (QS al-Baqarah [2]: 144).
3.Cara salam kaum Muslim berbeda dengan ahli kitab. Rasul bersabda:
Janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani. Cara salam orang-orang Yahudi adalah dengan isyarat (jari tangannya), sedangkan cara salam orang-orang Nasrani adalah dengan (telapak) tangannya. (HR at-Tirmidzi).
4.Mencukur kumis dan memanjangkan jenggot. Rasulullah saw. bersabda:
Panjangkanlah jenggot, cukurlah kumis, dan semirlah ubanmu; jangan menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani. (HR Ahmad, Ibn Hibban, dan at-Tirmidzi).
5.Membedakan pelaksanaan shaum sunnat dari tanggal 10 asy-Syura (10 Muharram) yang merupakan hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi puasa sunnat pada tanggal 9 Muharram. Rasulullah saw. bersabda:
Pada tahun depan, insya Allah, kita akan melakukan shaum pada hari kesembilan (9 Muharram). (HR Muslim).




Masih banyak lagi perkara-perkara lain yang secara sengaja Rasulullah saw. membedakan diri dengan orang-orang kafir maupun musyrik, seperti membedakan dua hari raya (Nairuz dan Maharjan, perayaan bangsa Persia) dengan dua Id (yakni Idul Fitri dan Idul Adha). Dibolehkan bergaul dengan istri yang sedang haid kecuali berhubungan suami istri. Hal ini amat berbeda dengan kebiasaan orang Yahudi yang menjauhkan istri-istri mereka yang haid bahkan tidak boleh berkumpul (makan bersama). Rasulullah saw. membolehkan mengecat rambut, sedangkan kebiasaan orang Yahudi dan Nasrani saat itu tidak mengecat rambutnya. Demikian seterusnya.

Perbuatan Rasulullah saw ini. membuat jengkel dan geram orang-orang kafir. Mereka (orang-orang Yahudi) sampai mengatakan, “Orang ini (Rasulullah saw.) selalu saja tidak pernah rela melihat kebiasaan yang kita lakukan, melainkan ia segera melakukan sesuatu yang berlawanan.” (HR Muslim).

Imam Ibn Hajar al-Asqalani telah mengumpulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan Rasulullah yang secara sengaja membedakan diri hingga berjumlah sekitar 30 macam. Semuanya dikumpulkan dalam kitabnya secara khusus, yang berjudul, Al-Qawli ats-Tsâbit fi ash-Shawmi Yawmu as-Sabt.

Dengan demikian, perbuatan atau kebiasaan apa saja yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan orang-orang kafir, yang terpengaruh oleh ideologi/ajaran agama ataupun pemikiran mereka, tidak boleh diikuti dan ditiru-tiru kaum Muslim; termasuk mengiktu perayaan/kebiasaan menyambut tahun baru Masehi. Sebab, Rasulullah saw. telah memberikan kepada kita peringatan hanya pada dua hari saja, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Selebihnya tidak.

Di samping itu, secara tegas Rasulullah saw. mengelompokkan kaum Muslim yang mengikuti perayaan/kebiasaan orang-orang kafir sama seperti mereka dan tidak termasuk golongan Rasul (kaum Muslim). Rasulullah saw. bersabda:
- Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, ia termasuk golongan mereka. (HR Abu Daud dan Ahmad).
- Tidak termasuk golonganku orang-orang yang menyerupai selain golonganku. (HR at- Tirmidzi).



http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/18/hukum-meniru-niru-kebiasaan-orang-kafir/

Hukum Mewarnai Rambut

Hukum Mewarnai Rambut



Menyemir rambut tidak terlarang asalkan bukan berwarna hitam. Bahkan dalam konteks upaya membedakan diri dari pemeluk agama lain dimasa itu, Rasulullah pernah memerintahkan untuk menyemir atau mewarnakan rambut. Sebagaimana yang bisa kita baca di dalam hadits Rasulullah SAW berikut ini:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka." (Riwayat Bukhari)

Perintah di sini mengandung arti sunnah bukan kewajiban. Sehingga dikerjakan oleh sebagian sahabat, misalnya Abubakar dan Umar, sedang shahabat yang lain tidak melakukannya, seperti Ali, Ubai bin Kaab dan Anas.

Tetapi warna apakah semir yang dibolehkan itu? Dengan warna hitam dan yang lainkah atau harus menjauhi warna hitam? Namun yang jelas, bagi orang yang sudah tua, ubannya sudah merata baik di kepalanya ataupun jenggotnya, tidak layak menyemir dengan warna hitam. Oleh karena itu tatkala Abu Bakar membawa ayahnya, Abu Kuhafah, ke hadapan Nabi pada hari penaklukan Makkah, sedang Nabi melihat rambutnya bagaikan pohon tsaghamah yang serba putih buahnya maupun bunganya, beliau bersabda,

"Ubahlah ini (uban) tetapi jauhilah warna hitam." (Riwayat Muslim)

Adapun orang yang tidak seumur dengan Abu Kuhafah (yakni belum begitu tua), tidaklah berdosa apabila menyemir rambutnya itu dengan warna hitam. Dalam hal ini, Az-Zuhri pernah berkata, "Kami menyemir rambut dengan warna hitam apabila wajah masih nampak muda, tetapi kalau wajah sudah mengerut dan gigi pun telah goyah, kami tinggalkan warna hitam tersebut."

Termasuk yang membolehkan menyemir dengan warna hitam ini ialah segolongan dari ulama salaf termasuk para sahabat, seperti Saad bin Abu Waqqash ra, Uqbah bin Amir r.a., Hasan ra, Husen r.a., Jarir dan lain-lain.

Sedang dari kalangan para ulama ada yang berpendapat tidak boleh menyemir rambut dengan warna hitam kecuali dalam keadaan perang, supaya dapat menakutkan musuh, kalau mereka melihat tentara-tentara Islam semuanya masih nampak muda.

Dalil lainnya tentang kebolehan mewarnai rambut adalah:

Dari Abu Dzar ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir uban ialah pohon inai dan katam." (Riwayat Tarmizi dan Ashabussunan)

Inai berwarna merah, sedang katam sebuah pohon yang tumbuh di zaman Rasulullah s.a.w. yang mengeluarkan zat berwarna hitam kemerah-merahan.

Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Abubakar menyemir rambutnya dengan inai dan katam, sedang Umar hanya dengan inai saja.

Juga ada hadits lainnya lagi tentang mewarnai rambut seperti hadits berikut:

"Sesungguhnya sebaik-baik alat yang kamu pergunakan untuk mengubah warna ubanmu adalah hinna' dan katam." (HR at-Tirmidzi dan Ashabus Sunnan)

Hinna' adalah pewarna rambut berwarna merah sedangkan katam adalah pohon Yaman yang mengeluarkan zat pewarna hitam kemerah-merahan.

Beragam Pendapat Ulama

Secara rebih rinci lagi, mari kita lihat sekilas bagaimana konfigurasi singkat pendapat para ulama tentang mengecat atau mewarnai rambut dengan warna hitam:

1.

Ulama Hanabilah, Malikiyah dan Hanafiyah menyatakan bahwasanya mengecat dengan warna hitam dimakruhkan kecuali bagi orang yang akan pergi berperang karena ada ijma yang menyatakan kebolehannya.
2.

Abu Yusuf dari ulama Hanafiyah berpendapat bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam dibolehkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: "Sesungguhnya sebaik-baiknya warna untuk mengecat rambut adalah warna hitam ini, karena akan lebih menarik untuk istri-istri kalian dan lebih berwibawa di hadapan musuh-musuh kalian" (Tuhfatul Ahwadzi 5/436)
3.

Ulama Madzhab Syafi'i berpendapat bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam diharamkan kecuali bagi orang-orang yang akan berperang. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW:

"Akan ada pada akhir zaman orang-orang yang akan mengecat rambut mereka dengan warna hitam, mereka tidak akan mencium bau surga"(HR. Abu Daud, An-Nasa'i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)


Ditulis oleh Hari Kuswanto
Sunday, 03 February 2008

Hukum Mewarnai Rambut



Menyemir rambut tidak terlarang asalkan bukan berwarna hitam. Bahkan dalam konteks upaya membedakan diri dari pemeluk agama lain dimasa itu, Rasulullah pernah memerintahkan untuk menyemir atau mewarnakan rambut. Sebagaimana yang bisa kita baca di dalam hadits Rasulullah SAW berikut ini:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka." (Riwayat Bukhari)

Perintah di sini mengandung arti sunnah bukan kewajiban. Sehingga dikerjakan oleh sebagian sahabat, misalnya Abubakar dan Umar, sedang shahabat yang lain tidak melakukannya, seperti Ali, Ubai bin Kaab dan Anas.

Tetapi warna apakah semir yang dibolehkan itu? Dengan warna hitam dan yang lainkah atau harus menjauhi warna hitam? Namun yang jelas, bagi orang yang sudah tua, ubannya sudah merata baik di kepalanya ataupun jenggotnya, tidak layak menyemir dengan warna hitam. Oleh karena itu tatkala Abu Bakar membawa ayahnya, Abu Kuhafah, ke hadapan Nabi pada hari penaklukan Makkah, sedang Nabi melihat rambutnya bagaikan pohon tsaghamah yang serba putih buahnya maupun bunganya, beliau bersabda,

"Ubahlah ini (uban) tetapi jauhilah warna hitam." (Riwayat Muslim)

Adapun orang yang tidak seumur dengan Abu Kuhafah (yakni belum begitu tua), tidaklah berdosa apabila menyemir rambutnya itu dengan warna hitam. Dalam hal ini, Az-Zuhri pernah berkata, "Kami menyemir rambut dengan warna hitam apabila wajah masih nampak muda, tetapi kalau wajah sudah mengerut dan gigi pun telah goyah, kami tinggalkan warna hitam tersebut."

Termasuk yang membolehkan menyemir dengan warna hitam ini ialah segolongan dari ulama salaf termasuk para sahabat, seperti Saad bin Abu Waqqash ra, Uqbah bin Amir r.a., Hasan ra, Husen r.a., Jarir dan lain-lain.

Sedang dari kalangan para ulama ada yang berpendapat tidak boleh menyemir rambut dengan warna hitam kecuali dalam keadaan perang, supaya dapat menakutkan musuh, kalau mereka melihat tentara-tentara Islam semuanya masih nampak muda.

Dalil lainnya tentang kebolehan mewarnai rambut adalah:

Dari Abu Dzar ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir uban ialah pohon inai dan katam." (Riwayat Tarmizi dan Ashabussunan)

Inai berwarna merah, sedang katam sebuah pohon yang tumbuh di zaman Rasulullah s.a.w. yang mengeluarkan zat berwarna hitam kemerah-merahan.

Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Abubakar menyemir rambutnya dengan inai dan katam, sedang Umar hanya dengan inai saja.

Juga ada hadits lainnya lagi tentang mewarnai rambut seperti hadits berikut:

"Sesungguhnya sebaik-baik alat yang kamu pergunakan untuk mengubah warna ubanmu adalah hinna' dan katam." (HR at-Tirmidzi dan Ashabus Sunnan)

Hinna' adalah pewarna rambut berwarna merah sedangkan katam adalah pohon Yaman yang mengeluarkan zat pewarna hitam kemerah-merahan.

Beragam Pendapat Ulama

Secara rebih rinci lagi, mari kita lihat sekilas bagaimana konfigurasi singkat pendapat para ulama tentang mengecat atau mewarnai rambut dengan warna hitam:

1.

Ulama Hanabilah, Malikiyah dan Hanafiyah menyatakan bahwasanya mengecat dengan warna hitam dimakruhkan kecuali bagi orang yang akan pergi berperang karena ada ijma yang menyatakan kebolehannya.
2.

Abu Yusuf dari ulama Hanafiyah berpendapat bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam dibolehkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: "Sesungguhnya sebaik-baiknya warna untuk mengecat rambut adalah warna hitam ini, karena akan lebih menarik untuk istri-istri kalian dan lebih berwibawa di hadapan musuh-musuh kalian" (Tuhfatul Ahwadzi 5/436)
3.

Ulama Madzhab Syafi'i berpendapat bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam diharamkan kecuali bagi orang-orang yang akan berperang. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW:

"Akan ada pada akhir zaman orang-orang yang akan mengecat rambut mereka dengan warna hitam, mereka tidak akan mencium bau surga"(HR. Abu Daud, An-Nasa'i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)


Ditulis oleh Hari Kuswanto
Sunday, 03 February 2008