Google

Friday, September 5, 2008

Parpol Islam

Email dari seorang teman, mungkin terlambat, tapi mungkin masih bisa direnungkan hingga saat ini, dan mungkin situasinya sama, menjelang pemilihan presiden 2009, untuk negeri kita tercinta, Indonesia.

Hari ini salah satu Partai berasas Islam sedang ada acara, tanggal
cantik sih katanya... Tanggal 08-08-08 sekalian aja Jam 08.08.08
Btw timenya sudah lewat.

Berikut ini tulisan tentang Bagaimana Partai Islam seharusnya...
Ssstt.. gw cuma kampanye tentang ide Islam yang harusnya diperjuangkan
Partai Islam, jangan terjebak janji manis partai ya..

:)

Wassalam
R Mariko

Partai Politik dalam Islam

Makna dan Fungsi Partai Politik Kini

Partai politik dalam era modern dimaknai sebagai suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai,
dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan mereka (Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Gramedia). Dilihat dari pengertian tersebut, ada beberapa unsur
penting yang ada dalam partai politik, yaitu: orang-orang, ikatan antara
mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi,
nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama.

Dalam praktek kekinian, setidaknya ada empat fungsi partai politik, yaitu:

Pertama, partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan
aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan
penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan
merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest
articulation). Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan
penguasa atau usulan kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk
dijadikan kebijakan umum yang diterapkan pada masyarakat.

Kedua, partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai memberikan
sikap, pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian,
peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat.
Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan
nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai
politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan
kepentingan umum.

Ketiga, partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik
berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam kegiatan
politik sebagai anggota partai.

Keempat, partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Di tengah
masyarakat terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik berupaya
untuk mengatasinya. Namun, semestinya hal ini dilakukan bukan untuk
kepentingan pribadi atau partai itu sendiri melainkan untuk kepentingan
umum.

Belajar dari Realitas Partai

Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia. Tapi, sungguh ironis,
Islam malah dipinggirkan. Mengapa?

Pertama, partai-partai yang berkuasa lebih bercorak sekular dan
kebangsaan. Konsekuensinya, aturan-aturan yang diterapkan adalah
aturan-aturan sisa peninggalan penjajah Belanda. Sistem ekonomi yang
dipraktekkan pun ekonomi Kapitalistik yang secara intrinsik meniscayakan
kesenjangan yang hebat antara kaya dengan miskin. Kekayaan alam milik
rakyat pun dibiarkan dikuasai asing dan para saudagar dalam negeri.
Semuanya legal karena ditopang oleh perundang-undangan yang dibuat oleh
wakil-wakil partai-partai tersebut yang duduk di parlemen.

Kedua, partai-partai Islam yang ada tidak memiliki konsepsi (fikrah)
yang jelas dan tegas. Sebagai contoh, ketika mensikapi fenomena kepala
negara perempuan hanya berkomentar, “Ini masalah fikih. Semua terserah
rakyat.” Pada waktu didesak pendapatnya tentang syariah Islam, menjawab,
“Syariah Islam itu kan keadilan, kebebasan, dan kesetaraan.” Kalau
begitu, tidak ada bedanya dengan partai-partai umumnya. Ketika ramai
membincangkan amandemen UUD 1945 tentang dasar negara, sebagian
menyatakan, “Partai kami tidak akan mendirikan Negara Islam”, “Kembali
kepada Piagam Jakarta”, dan partai Islam lainnya menyatakan ‘Indonesia
ini plural harus kembali ke Piagam Madinah di mana tiap agama
menjalankan hukum masing-masing’. Sikap demikian membuat umat
menyimpulkan tidak ada bedanya antara partai yang menamakan partai Islam
dengan partai lainnya.

Ketiga, partai-partai secara umum hanya diperuntukkan bagi pemenangan
Pemilu. Kegiatannya terkait persoalan rakyat hanya digiatkan menjelang
Pemilu. Dalam kurun waktu antara dua Pemilu, umumnya partai kurang
aktif. Kalaupun aktif lebih disibukkan dengan aktivitas Pilkada untuk
menggoalkan calonnya. Interpelasi masalah beras atau Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) hanya panas-panas tahi ayam. Ujungnya, tidak ada
penyelesaian.

Keempat, tidak menjalankan metode yang jelas. Untuk melakukan perubahan
di tengah masyarakat ditempuh dengan membuat undang-undang. Namun,
jalannya dengan kompromi dan tambal sulam. Bahkan, berkoalisi antara
partai Islam dengan partai nasionalis yang anti Islam, bahkan partai
kristen yang jelas-jelas memproklamirkan dirinya ‘konsisten menentang
syariah’. Kalaupun menyatakan ‘partai nasionalis relijius’ tidak jelas
apa maksudnya. Dengan perilaku demikian rakyat tidak melihat ada bedanya
antara partai Islam dengan partai nasionalis, misalnya.

Kelima, tidak adanya ikatan yang kuat di antara para anggotanya. Ikatan
yang ada lebih pada kepentingan. Muncullah perpecahan di dalam tubuh
partai-partai Islam atau berbasis massa umat Islam.

Keenam, perilaku sebagian anggota/pengurus tidak mencerminkan partai
Islam sesungguhnya. Aliran dana untuk DPR termasuk yang ‘tidak jelas
asalnya’, juga diterima oleh sebagian partai Islam. Alasannya, nanti
akan dikembalikan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Hal ini
menambah pemahaman masyarakat tentang sulitnya membedakan antara partai
Islam dengan partai bukan Islam.

Inilah beberapa penyebab kegagalan partai, khususnya partai Islam.
Karenanya, siapapun harus belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut.

Memaknai Partai Politik Islam

Pengertian dan fungsi partai politik yang disampaikan di muka sangatlah
umum. Visi dan misinya amat terbuka, bisa berdasarkan Sekular-Kapitalis,
Sosialis/Komunis, atau Islam. Lalu, bagaimana cara untuk mewujudkan
partai yang benar?

Terlebih dahulu, penting untuk didudukkan apa hakikat partai politik
(hizbun siyasiy) dalam sudut pandang Islam. Secara bahasa, kata hizb
dipakai dalam beberapa ayat al-Quran. Di antaranya, Imam Jalalain dalam
memaknai kata ’hizb (hizbullah)’ dalam surat al-Maidah ayat 56 dan
Mujadilah ayat 22 sebagai atba’uhu (pengikutnya) serta orang-orang yang
mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Imam al-Qurthubiy
dalam tafsirnya memaknai kata hizb dalam surat al-Maidah ayat 56,
Al-Mukminun ayat, 53 dan Mujadilah ayat 19 sebagai penolong, sahabat,
kelompok (fariq), millah, kumpulan orang (rohth). Sementara itu, dalam
kamus Al-Muhit, disebutkan: “Sesungguhnya partai adalah sekelompok
orang. Partai adalah seorang dengan pengikut dan pendukungnya yang punya
satu pandangan dan satu nilai’’. Imam Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih
Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang satu tujuan, mereka
bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya”.

Adapun terkait makna politik (siyasah) disebutkan dalam kamus Al-Muhit
bahwa As-Siyasah (politik) berasal dari kata: Sasa –Yasusu – Siyasatan
bi ma’na ra’iyatan (pengurusan). Al-Jauhari berkata: sustu ar-raiyata
siyasatan artinya aku memerintah dan melarang kepadanya atas sesuatu
dengan sejumlah perintah dan larangan). Wa as-siyasah maksudnya:
al-qiyamu ‘ala syaiin bima yashluhuhu (siyasah/politik adalah melakukan
sesuatu yang memberi mashlahat padanya) (Lisanul Arab, Ibn Mandzur).
Dengan demikian, politik/siyasah bermakna mengurusi urusan berdasarkan
suatu aturan tertentu yang tentu berupa perintah dan larangan.

Rasulullah SAW menggunakan kata siyasah (politik) dalam sabdanya:

Adalah Bani Israil, urusan mereka diatur (tasusuhum) oleh para Nabi.
Setiap seorang Nabi wafat, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya
tidak ada Nabi sesudahku, dan akan ada para khalifah yang banyak (HR.
Bukhari).

Di dalam kitab Fath al-Bariy, pada syarah hadits ini , dijelaskan makna
siyasah (politik):

“(Mereka diurus oleh para Nabi), maksudnya, tatkala tampak kerusakan di
tengah-tengah mereka, Allah pasti mengutus kepada mereka seorang Nabi
yang menegakkan urusan mereka dan menghilangkan hukum-hukum Taurat yang
mereka rubah. Di dalamnya juga terdapat isyarat, bahwa harus ada orang
yang menjalankan urusan di tengah-tengah rakyat yang membawa rakyat
melewati jalan kebaikan, dan membebaskan orang yang terzalimi dari pihak
yang zhalim”

Berdasarkan makna hizbun (partai) dan siyasah (politik) tadi, maka dapat
disebutkan bahwa partai politik (hizbun siyasiy) merupakan suatu
kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam rangka mengurusi
urusan rakyat. Dengan kata lain, partai politik adalah kelompok yang
berdiri di atas sebuah landasan ideologi yang diyakini oleh
anggota-anggotanya, yang ingin mewujudkannya di tengah masyarakat.

Karakteristik Partai Politik Islam

Allah SWT mengisyaratkan hal ini didalam firman-Nya:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung (TQS. Ali ’Imran[3]: 104).

Imam Al-Qurthubi mendefinisikan kata (???) dalam tafsir al-Jami’ li
Ahkam Al-Quran, sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam satu akidah.
Tetapi, menurutnya, umat dalam surat Ali ‘Imran ayat 104 ini juga
bermakna kelompok karena adanya lafadz “minkum” (di antara kalian). Imam
Ath-Thabari, seorang faqih dalam tafsir dan fiqh, berkata dalam kitabnya
Jami’ Al-bayan tentang arti ayat ini yakni: ‘’(Wal takun minkum) Ayuhal
mu’minun (ummatun) jama’atun‘’, artinya: “Hendaknya ada di antaramu
(wahai orang-orang beriman) umat )jama’ah yang mengajak pada hukum-hukum
Islam(”. Al-Qadhi Al-Baydhawi dalam kitabnya, Tafsir al-Baidhawi tentang
arti ayat ini menyatakan: Lafadz Min —dalam ayat tersebut— mempunyai
konotasi li at-tab’idh (menujukkan makna sebagian). Karena amar makruf
dan nahi munkar merupakan fardhu kifayah.

Disamping karena aktivitas tersebut tidak bisa dilakukan oleh setiap
orang, ketika orang yang diperintah oleh nash tersebut harus mempunyai
sejumlah syarat, yang tidak bisa dipenuhi oleh semua orang. Seperti
pengetahuan tentang hukum, tingkat kecakapan, tatacara menunaikannya dan
kemampuan melaksanakannya. Perintah tersebut memang menyerukan kepada
seluruhnya (umat Islam), namun yang diminta mengerjakannya hanya
sebagian dari mereka. Itu membuktikan, bahwa perintah tersebut wajib
untuk seluruhnya, sehingga ketika mereka meninggalkan pokok kewajiban
tersebut, semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut dinyatakan gugur
dengan dikerjakan oleh sebagian di antara mereka. (Al-Baidhawi, Tafsir
al-Baidhawi, juz I, hal. 374).

Pada titik terakhir ini, Imam as-Syathibi memberikan penegasan, “Pada
dasarnya mereka (kaum Muslim) dituntut untuk menunaikannya secara
keseluruhan. Namun, mereka ada yang mampu melaksanakannya secara
langsung. Mereka inilah orang-orang berkompeten untuk melaksanakannya.
Sedangkan yang lain, meski mereka tidak mampu, tetapi tetap mampu
menghadirkan orang-orang yang berkemampuan. Jadi, siapa saja yang mampu
menjalankan pemerintahan (wilayah), dia dituntut untuk melaksanakannya.
Bagi yang tidak mampu, dituntut untuk melakukan perkara lain, yaitu
menghadirkan orang yang mampu dan memaksanya untuk melaksanakannya.
Kesimpulannya, yang mampu dituntut untuk menjalankan kewajiban tersebut,
sementara yang tidak mampu dituntut untuk menghadirkan orang yang mampu.
Alasannya, karena orang yang mampu tersebut tidak akan ada, kecuali
dengan dihadirkan. Ini merupakan bagian dari Ma la yatimmu al-wajib illa
bihi, yaitu kewajiban yang hanya bisa dijalankan dengan sempurna dengan
adanya perkara tadi.” (as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah,
juz I, hal. 128-129)

Ringkasnya, di dalam ayat itu disebutkan ‘Hendaknya ada di antara kamu
segolongan umat …’, artinya, hendaknya ada sekelompok/segolongan orang
dari kaum Muslim (ummatan minal muslimin atau jama’atan minal muslimin).
Ayat ini menegaskan perintah kepada kaum Muslim tentang keharusan adanya
kelompok/jama’ah. Kelompok untuk apa? Untuk menjalankan dua fungsi:
pertama, da’wah ilal khair (menyeru kepada al-khoir) dan kedua, amar
ma’ruf nahi munkar (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari perkara
munkar).

Kata al-khair dalam frase da’wah ilal khair menurut tafsir Jalalain
berarti al-Islam (Tafsir al-Quran al-’Azhim li al-imamain Jalalain, hal.
58), sehingga makna da’wah ilal khair adalah mendakwahkan/menyeru
manusia kepada Islam. Sementara itu, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa
al-khair adalah mengikuti al-Quran dan as-Sunnah. Maksud ayat tersebut,
lanjutnya adalah hendaknya ada dari umat ini suatu kelompok yang solid
dalam menjalankan tugas tersebut sekalipun hal itu juga merupakan
kewajiban atas setiap individu umat ini (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran
al-’Azhim, Juz I, hal. 478). Berdasarkan hal ini, jelaslah kelompok yang
dikehendaki Allah adalah kelompok yang secara penuh berjuang untuk
menyerukan Islam.

Pada sisi lain, kelompok tersebut berbentuk partai politik. Hal ini
dipahami dari fungsi kedua dari kelompok itu, yaitu amar ma’ruf nahi
munkar. Cakupan amar ma’ruf nahi munkar amat luas, termasuk di dalamnya
menyeru para penguasa agar mereka berbuat ma’ruf (melaksanakan syariah
Islam) dan melarangnya berbuat munkar (menjalankan sesuatu yang
bertentangan dengan syariah Islam). Bahkan, mengawasi para penguasa dan
menyampaikan nasihat kepadanya merupakan bagian terpenting dari
aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.

Padahal, aktivitas demikian merupakan aktivitas politik sekaligus
termasuk kegiatan politik yang amat penting, yang menjadi ciri utama
kegiatan sebuah partai politik. Jadi, ayat tersebut mengisyaratkan
tentang kewajiban mendirikan partai-partai politik yang berdasarkan
Islam. Dengan kata lain, partai politik yang harus ada adalah partai
politik yang tegak di atas ideologi (mabda) Islam atau partai Islam
ideologis.

Berdasarkan hal tersebut, partai politik Islam adalah partai yang
berideologi Islam, mengambil dan menetapkan ide-ide, hukum-hukum dan
pemecahan problematika dari syariah Islam, serta metode operasionalnya
mencontoh metode (thariqah) Rasulullah SAW.

Partai politik Islam adalah partai yang berupaya menyadarkan masyarakat
dan berjuang bersamanya untuk melanjutkan kehidupan Islam. Partai
politik Islam tidak ditujukan untuk meraih suara dalam Pemilu atau
berjuang meraih kepentingan sesaat, melainkan partai yang berjuang untuk
merubah sistem Sekular menjadi sistem yang diatur oleh syariah Islam.
Orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu
kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan
yang sama semuanya haruslah didasarkan dan bersumber dari Islam.
Karenanya, partai Islam yang ideologis memiliki beberapa karakter, di
antaranya:

1. Dasarnya adalah Islam. Hidup matinya adalah untuk Islam.

2. Orang-orangnya adalah orang-orang yang berkepribadian Islam. Mereka
berpikir berdasarkan Islam dan berbuat berdasarkan Islam. Partai politik
Islam terus menerus melakukan pembinaan kepada para anggotanya hingga
mereka memiliki kepribadian Islam sekaligus memiliki pemikiran,
perasaan, pendapat dan keyakinan yang sama, sehingga orientasi, nilai,
cita-cita dan tujuannya pun sama. Merekapun menjadi sumberdaya manusia
(SDM) yang siap untuk menerapkan syariah Islam. Pada saat yang sama,
ikatan yang menyatukan mereka bukan kepentingan atau uang melainkan
akidah Islamiyah.

3. Memiliki amir/pemimpin partai yang menyatu dengan pemikiran Islam dan
dipatuhi selama sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Nabi SAW bersabda,
“Jika kalian bertiga dalam satu safar, tunjuklah amir satu di antaramu”
(HR Muslim).

4. Memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas terkait berbagai hal. Partai
Islam haruslah memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas tentang sistem
ekonomi, sistem politik, sistem pemerintahan, sistem sosial, sistem
pendidikan, politik luar negeri, dll. Semuanya harus tersedia dan siap
untuk disampaikan. Konsepsi inilah yang disosialisasikan kepada
masyarakat hingga mereka menjadikan penerapan semua sistem Islam
tersebut sebagai kebutuhan bersama. Syariah Islam inilah yang
diperjuangkan untuk ditegakkan. Pada sisi lain, konsepsi tidak akan
dapat dilakukan kecuali adanya metode pelaksanaan (thariqah). Dan metode
pelaksanaan hukum Islam tersebut adalah melalui pemerintah yang
menerapkan Islam. Upaya mewujudkan pemerintahan yang menerapkan hukum
Islam (khilafah) tersebut merupakan arah yang dituju partai Islam.

5. Mengikuti metode yang jelas dalam perjuangannya sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pertama, melakukan pembinaan dan
pengkaderan. Kedua, bergerak dan bergaul bersama dengan masyarakat.
Ketiga, menegakkan syariah secara total dengan dukungan dan bersama
dengan rakyat.

6. Melakukan aktivitas:

a. Membangun tubuh partai dengan melakukan pembinaan secara intensif
sehingga menyakini ide-ide yang diadopsi oleh partai.

b. Membina umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syara’ yang
diadopsi oleh partai, sehingga tercipta opini tentang syari’at Islam
sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah umat dan keharusan menerapkan
syariah Islam dalam wadah Khilafah.

c. Melakukan perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang
bertentangan dengan Islam.

d. Melakukan koreksi terhadap penguasa yang tidak menerapkan Islam atau
menzhalimi rakyat.

e. Perjuangan politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa
yang zhalim.

Arah Jalan

Secara umum ada dua jalan yang ditempuh dalam perjuangan merubah sistem
Sekular menjadi Islam. Pertama, jalan parlemen. Jalan ini menggunakan
logika linier, yaitu partai politik ikut dalam parlemen untuk merumuskan
perundang-undangan yang sesuai dengan syariah. Dengan demikian, sistem
akan berubah.

Fakta menunjukkan perubahan total tidak pernah terjadi melalui jalan
parlemen. Kalaupun bisa terjadi bersifat parsial. Karenanya, perjuangan
melalui parlemen bukanlah metode untuk melakukan perubahan total.

Parlemen tidak dapat dijadikan sebagai metode perubahan. Sebab, metode
perubahan melalui parlemen hanya bersifat teoritis belaka bukan praktis.
Selain itu, pemilu bukanlah metode perubahan yang telah ditempuh oleh
Rasul saw. ketika mendirikan pemerintahan Islam. Selain itu, fakta di
Indonesia juga menunjukkan bahwa partai-partai politik dan anggota
parlemen sejak awal telah melihat keharusan mereka untuk terikat dengan
Sekularisme Kapitalisme beserta produk perundangan-undangannya. Ini
artinya, pemilu di Indonesia tidak diadakan dalam rangka melakukan
perubahan mendasar apapun.

Pada sisi lain dilihat dari faktanya, parlemen itu memiliki tiga fungsi,
yaitu:

1. Membuat undang-undang dasar dan undang-undang serta mengesahkan
berbagai kesepakatan, rancangan undang-undang, dan berbagai perjanjian
yang lain.

2. Mengangkat kepala negara –di beberapa negara, dia dipilih secara
langsung oleh rakyat– dan memberikan mandat kepadanya untuk menjalankan
pemerintahan.

3. Melakukan pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan
lembaga-lembaga pemerintahan.

Partai Islam ditujukan untuk menerapkan Islam secara kaffah, karenanya
partai yang membuat undang-undang sekular, melalui wakilnya yang duduk
di parlemen, bertentangan dengan fakta partai Islam itu sendiri. Lebih
dari itu, dalam pandangan Islam, manusia tidak berhak membuat hukum dan
undang-undang. Yang berhak membuat hukum perundang-undangan itu hanyalah
Allah SWT. Allah berfirman:

Kuputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (TQS. Yûsuf [12]: 40)

Begitu juga pemberian mandat kepada pemerintah yang tidak berhukum
dengan hukum Allah, jelas hukumnya haram, tidak boleh dilakukan oleh
partai Islam. Allah SWT menegaskan hal ini dalam firmanNya:


Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah
Islam), maka mereka termasuk orang-orang kafir. (TQS. al-Mâidah [5]: 44)

Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah,
maka mereka adalah orang zalim. (TQS. al-Mâ’idah [5]: 45)

Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah
Islam), maka mereka termasuk orang-orang fasiq” (TQS. al-Mâidah [5]: 47)

Adapun aktivitas pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan
lembaga-lembaga pemerintahan merupakan kewajiban yang harus dilakukan,
termasuk oleh partai politik. Caranya, bisa dari luar parlemen, bisa
juga dari dalam parlemen. Karena itu, siapapun yang ada di dalam
parlemen harus menjadikannya sebagai mimbar dakwah dalam rangka
melakukan koreksi (muhasabah) bagi penguasa. Satu hal yang penting
dicatat adalah parlemen sebagai mimbar dakwah hanyalah salah satu teknik
(uslub) saja dalam melakukan koreksi pada penguasa.

Jalan kedua adalah jalan yang merupakan metode perubahan. Metode ini
adalah metode yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Metode tersebut berupa
pembinaan umat Islam dan berinteraksi dengan mereka hingga terbentuk
kesadaran umum pada diri mereka. Bukan sembarang kesadaran melainkan
kesadaran bahwa mereka adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh
umat manusia, dan kesadaran bahwa agama Islam yang telah diturunkan oleh
Allah kepada Muhammad adalah risalah paripurna yang mengatur seluruh
aspek kehidupan. Umat pun menjadi sadar bahwa Allah akan memenangkannya
atas semua agama dan ideologi, termasuk atas demokrasi Barat.

Agama inilah satu-satunya yang akan membebaskan manusia dari kegelapan
menuju cahaya Islam. Tidak berhenti sampai di situ, muncul pula
kesadaran bahwa masalah utama umat Islam saat ini adalah mengembalikan
Khilafah Islam yang akan menerapkan syariah Allah di dalam negeri,
mengemban risalah ke seluruh dunia, serta menyatukan kaum Muslim di
bawah panji La ilaha illallah. Umat juga sadar bahwa mengembalikan
Khilafah itu harus dilakukan melalui thalab an-nushrah (aktivitas
mencari pertolongan) dari para pemilik kekuatan (ahlul quwwah), bukan
melalui pemilihan umum. Partai politik Islam melakukan proses penyadaran
pada semua lini masyarakat.

Dalam prakteknya, partai Islam tidak lepas dari langkah-langkah berikut:

1. Dimulai dengan pembentukan kader yang berkepribadian Islam
(Syakhshiyyah Islamiyyah), melalui pembinaan intensif (halqah
murakkazah) dengan materi dan metode tertentu. Proses ini akan
menjadikan rekrutmen kader politik tidak pernah surut. Bukan kader yang
berambisi untuk mendapatkan kursi melainkan kader perjuangan dalam
menegakkan Islam demi kemaslahatan manusia.

2. Pembinaan umat (tatsqif jamaiy) untuk terbentuknya kesadaran
masyarakat (al-wa’yu al-am) tentang Islam. Pembinaan ini harus
menghubungkan realitas yang terjadi dengan pandangan dan sikap Islam
terhadap realitas tersebut. Misalnya, memperbincangkan dengan masyarakat
persoalan kenaikan harga listrik, BBM, penjualan kekayaan rakyat kepada
asing, tekanan Dana Moneter Internasional (IMF), penghinaan terhadap
Nabi/al-Quran/Islam, dll, disertai penjelasan hukum Islam tentang
masalah tersebut. Partai membuat komentar, analisis, dan sikap politik
terkait hal-hal tersebut lalu disampaikan kepada rakyat. Juga, dilakukan
koreksi terhadap kebijakan penguasa serta membongkar rencana jahat
negara asing. Dengan cara seperti ini rakyat akan memiliki sikap politik
sesuai dengan pandangan Islam terhadap berbagai peristiwa yang terjadi.
Dengan pembinaan ini pula terjadi transfer nilai-nilai dan hukum Islam
dari generasi ke generasi. Partai Islam sehari-hari berada di tengah rakyat.

3. Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh partai
(tanmiyatu jismi al-hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum
dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik
(al-quwwatu al-siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang
memilliki kesadaran politik Islam (al-wa’yu al-siyasiy al-islamy), yakni
kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur
dengan syariah Islam. Maka harus ada upaya terus menerus penyadaran
politik Islam kepada masyarakat, yang dilakukan oleh kader. Makin banyak
kader, makin cepat kesadaran terbentuk sehingga kekuatan politik juga
makin cepat terwujud. Di sinilah agregasi dan artikulasi kepentingan
rakyat terjadi. Apa yang menjadi kepentingan rakyat tersebut tidak lepas
dari tuntutan dan tuntunan aturan Islam. Dengan cara seperti ini terjadi
komunikasi politik dan sosialisi politik antara partai dengan rakyat
hingga massa umat memiliki kesadaran politik.

Pemikiran partai Islam tentu berbeda dengan partai
Sekular-Kapitalis-Liberal maupun Sosialis-Komunis. Sebagai contoh, dalam
masalah ekonomi, partai sekular menjadikan seluruh aset produksi,
termasuk sumber daya alam (SDA) dibiarkan dikuasai oleh individu atau
swasta berdasarkan mekanisme pasar. Sementara partai Sosialis menjadikan
negara sebagai aktor tunggal aktivitas ekonomi, sehingga semua aset
produksi, termasuk sumber daya alam (SDA) dimonopoli oleh negara. Rakyat
pun tidak boleh memiliki aset produksi apapun. Adapun partai Islam,
menjadikan aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA), sesuai dengan
mekanisme hukum syara’, yang terbagi dalam tiga jenis kepemilikan, yaitu
kepemilikan individu, umum dan negara. Ada juga partai yang tidak
memiliki konsep apapun tentang masalah tersebut, maka senyatanya ia
bukanlah partai, atau sekadar partai papan nama.

4. Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah
Islam. Di sinilah penggabungan kepentingan (interest aggregation) dan
perumusan kepentingan (interest articulation) dilandaskan pada Islam dan
diperjuangkan bersama antara partai dengan rakyat.

5. Penyampaian Islam pun ditujukan kepada ahl-quwwah dan pihak-pihak
yang berpengaruh seperti politisi, orang kaya, tokoh masyarakat, media
massa dan sebagainya. Melalui pendekatan intensif ahl-quwwah setuju dan
mendukung perjuangan partai bersama rakyat. Kekuatan politik yang
didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung.

6. Sistem (syariah) dan kekuasaan (khilafah atau penyatuan ke dalam
khilafah) Islam tegak melalui jalan umat.

Jalan tersebut merupakan jalan yang didasarkan pada kesadaran masyarakat
dan perjuangan bersama antara partai dengan umat sehingga dikenal dengan
jalan ‘an thariq al-ummah (melalui jalan umat). Tampak, jalan tersebut
merupakan jalan damai dan alami. Tidak ada sesuatu yang perlu ditakutkan
atau dikhawatirkan. Sebab, inti dari metode itu adalah kesadaran umat
dan tuntutan umat demi kemaslahatan umat.

Kemasalahatan umat itu bukanlah sekadar persoalan moralitas dan sentimen
keagamaan. Namun, Partai politik Islam juga memiliki solusi syariah yang
cerdas, dan bisa diterapkan oleh negara, seperti menjamin kebutuhan
pokok (sandang, pangan, dan papan) tiap individu masyarakat. Mekanisme
ini dilakukan setelah secara individu, seseorang tidak mampu
memenuhinya, dan keluarga dekatnya tidak mampu memenuhinya. Selain itu,
Islam juga menjamin kebutuhan kolektif, seperti pendidikan, kesehatan
dan keamanan gratis sebagaimana yang banyak dinyatakan dalam al-Quran
dan hadits Nabi.

Demikianlah seharusnya partai politik Islam. Kehadirannya didambakan
oleh rakyat yang menginginkan hidup sejahtera di dunia dan akhirat.

Email dari seorang teman, mungkin terlambat, tapi mungkin masih bisa direnungkan hingga saat ini, dan mungkin situasinya sama, menjelang pemilihan presiden 2009, untuk negeri kita tercinta, Indonesia.

Hari ini salah satu Partai berasas Islam sedang ada acara, tanggal
cantik sih katanya... Tanggal 08-08-08 sekalian aja Jam 08.08.08
Btw timenya sudah lewat.

Berikut ini tulisan tentang Bagaimana Partai Islam seharusnya...
Ssstt.. gw cuma kampanye tentang ide Islam yang harusnya diperjuangkan
Partai Islam, jangan terjebak janji manis partai ya..

:)

Wassalam
R Mariko

Partai Politik dalam Islam

Makna dan Fungsi Partai Politik Kini

Partai politik dalam era modern dimaknai sebagai suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai,
dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan mereka (Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Gramedia). Dilihat dari pengertian tersebut, ada beberapa unsur
penting yang ada dalam partai politik, yaitu: orang-orang, ikatan antara
mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi,
nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama.

Dalam praktek kekinian, setidaknya ada empat fungsi partai politik, yaitu:

Pertama, partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan
aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan
penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan
merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest
articulation). Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan
penguasa atau usulan kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk
dijadikan kebijakan umum yang diterapkan pada masyarakat.

Kedua, partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai memberikan
sikap, pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian,
peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat.
Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan
nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai
politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan
kepentingan umum.

Ketiga, partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik
berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam kegiatan
politik sebagai anggota partai.

Keempat, partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Di tengah
masyarakat terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik berupaya
untuk mengatasinya. Namun, semestinya hal ini dilakukan bukan untuk
kepentingan pribadi atau partai itu sendiri melainkan untuk kepentingan
umum.

Belajar dari Realitas Partai

Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia. Tapi, sungguh ironis,
Islam malah dipinggirkan. Mengapa?

Pertama, partai-partai yang berkuasa lebih bercorak sekular dan
kebangsaan. Konsekuensinya, aturan-aturan yang diterapkan adalah
aturan-aturan sisa peninggalan penjajah Belanda. Sistem ekonomi yang
dipraktekkan pun ekonomi Kapitalistik yang secara intrinsik meniscayakan
kesenjangan yang hebat antara kaya dengan miskin. Kekayaan alam milik
rakyat pun dibiarkan dikuasai asing dan para saudagar dalam negeri.
Semuanya legal karena ditopang oleh perundang-undangan yang dibuat oleh
wakil-wakil partai-partai tersebut yang duduk di parlemen.

Kedua, partai-partai Islam yang ada tidak memiliki konsepsi (fikrah)
yang jelas dan tegas. Sebagai contoh, ketika mensikapi fenomena kepala
negara perempuan hanya berkomentar, “Ini masalah fikih. Semua terserah
rakyat.” Pada waktu didesak pendapatnya tentang syariah Islam, menjawab,
“Syariah Islam itu kan keadilan, kebebasan, dan kesetaraan.” Kalau
begitu, tidak ada bedanya dengan partai-partai umumnya. Ketika ramai
membincangkan amandemen UUD 1945 tentang dasar negara, sebagian
menyatakan, “Partai kami tidak akan mendirikan Negara Islam”, “Kembali
kepada Piagam Jakarta”, dan partai Islam lainnya menyatakan ‘Indonesia
ini plural harus kembali ke Piagam Madinah di mana tiap agama
menjalankan hukum masing-masing’. Sikap demikian membuat umat
menyimpulkan tidak ada bedanya antara partai yang menamakan partai Islam
dengan partai lainnya.

Ketiga, partai-partai secara umum hanya diperuntukkan bagi pemenangan
Pemilu. Kegiatannya terkait persoalan rakyat hanya digiatkan menjelang
Pemilu. Dalam kurun waktu antara dua Pemilu, umumnya partai kurang
aktif. Kalaupun aktif lebih disibukkan dengan aktivitas Pilkada untuk
menggoalkan calonnya. Interpelasi masalah beras atau Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) hanya panas-panas tahi ayam. Ujungnya, tidak ada
penyelesaian.

Keempat, tidak menjalankan metode yang jelas. Untuk melakukan perubahan
di tengah masyarakat ditempuh dengan membuat undang-undang. Namun,
jalannya dengan kompromi dan tambal sulam. Bahkan, berkoalisi antara
partai Islam dengan partai nasionalis yang anti Islam, bahkan partai
kristen yang jelas-jelas memproklamirkan dirinya ‘konsisten menentang
syariah’. Kalaupun menyatakan ‘partai nasionalis relijius’ tidak jelas
apa maksudnya. Dengan perilaku demikian rakyat tidak melihat ada bedanya
antara partai Islam dengan partai nasionalis, misalnya.

Kelima, tidak adanya ikatan yang kuat di antara para anggotanya. Ikatan
yang ada lebih pada kepentingan. Muncullah perpecahan di dalam tubuh
partai-partai Islam atau berbasis massa umat Islam.

Keenam, perilaku sebagian anggota/pengurus tidak mencerminkan partai
Islam sesungguhnya. Aliran dana untuk DPR termasuk yang ‘tidak jelas
asalnya’, juga diterima oleh sebagian partai Islam. Alasannya, nanti
akan dikembalikan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Hal ini
menambah pemahaman masyarakat tentang sulitnya membedakan antara partai
Islam dengan partai bukan Islam.

Inilah beberapa penyebab kegagalan partai, khususnya partai Islam.
Karenanya, siapapun harus belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut.

Memaknai Partai Politik Islam

Pengertian dan fungsi partai politik yang disampaikan di muka sangatlah
umum. Visi dan misinya amat terbuka, bisa berdasarkan Sekular-Kapitalis,
Sosialis/Komunis, atau Islam. Lalu, bagaimana cara untuk mewujudkan
partai yang benar?

Terlebih dahulu, penting untuk didudukkan apa hakikat partai politik
(hizbun siyasiy) dalam sudut pandang Islam. Secara bahasa, kata hizb
dipakai dalam beberapa ayat al-Quran. Di antaranya, Imam Jalalain dalam
memaknai kata ’hizb (hizbullah)’ dalam surat al-Maidah ayat 56 dan
Mujadilah ayat 22 sebagai atba’uhu (pengikutnya) serta orang-orang yang
mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Imam al-Qurthubiy
dalam tafsirnya memaknai kata hizb dalam surat al-Maidah ayat 56,
Al-Mukminun ayat, 53 dan Mujadilah ayat 19 sebagai penolong, sahabat,
kelompok (fariq), millah, kumpulan orang (rohth). Sementara itu, dalam
kamus Al-Muhit, disebutkan: “Sesungguhnya partai adalah sekelompok
orang. Partai adalah seorang dengan pengikut dan pendukungnya yang punya
satu pandangan dan satu nilai’’. Imam Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih
Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang satu tujuan, mereka
bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya”.

Adapun terkait makna politik (siyasah) disebutkan dalam kamus Al-Muhit
bahwa As-Siyasah (politik) berasal dari kata: Sasa –Yasusu – Siyasatan
bi ma’na ra’iyatan (pengurusan). Al-Jauhari berkata: sustu ar-raiyata
siyasatan artinya aku memerintah dan melarang kepadanya atas sesuatu
dengan sejumlah perintah dan larangan). Wa as-siyasah maksudnya:
al-qiyamu ‘ala syaiin bima yashluhuhu (siyasah/politik adalah melakukan
sesuatu yang memberi mashlahat padanya) (Lisanul Arab, Ibn Mandzur).
Dengan demikian, politik/siyasah bermakna mengurusi urusan berdasarkan
suatu aturan tertentu yang tentu berupa perintah dan larangan.

Rasulullah SAW menggunakan kata siyasah (politik) dalam sabdanya:

Adalah Bani Israil, urusan mereka diatur (tasusuhum) oleh para Nabi.
Setiap seorang Nabi wafat, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya
tidak ada Nabi sesudahku, dan akan ada para khalifah yang banyak (HR.
Bukhari).

Di dalam kitab Fath al-Bariy, pada syarah hadits ini , dijelaskan makna
siyasah (politik):

“(Mereka diurus oleh para Nabi), maksudnya, tatkala tampak kerusakan di
tengah-tengah mereka, Allah pasti mengutus kepada mereka seorang Nabi
yang menegakkan urusan mereka dan menghilangkan hukum-hukum Taurat yang
mereka rubah. Di dalamnya juga terdapat isyarat, bahwa harus ada orang
yang menjalankan urusan di tengah-tengah rakyat yang membawa rakyat
melewati jalan kebaikan, dan membebaskan orang yang terzalimi dari pihak
yang zhalim”

Berdasarkan makna hizbun (partai) dan siyasah (politik) tadi, maka dapat
disebutkan bahwa partai politik (hizbun siyasiy) merupakan suatu
kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam rangka mengurusi
urusan rakyat. Dengan kata lain, partai politik adalah kelompok yang
berdiri di atas sebuah landasan ideologi yang diyakini oleh
anggota-anggotanya, yang ingin mewujudkannya di tengah masyarakat.

Karakteristik Partai Politik Islam

Allah SWT mengisyaratkan hal ini didalam firman-Nya:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung (TQS. Ali ’Imran[3]: 104).

Imam Al-Qurthubi mendefinisikan kata (???) dalam tafsir al-Jami’ li
Ahkam Al-Quran, sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam satu akidah.
Tetapi, menurutnya, umat dalam surat Ali ‘Imran ayat 104 ini juga
bermakna kelompok karena adanya lafadz “minkum” (di antara kalian). Imam
Ath-Thabari, seorang faqih dalam tafsir dan fiqh, berkata dalam kitabnya
Jami’ Al-bayan tentang arti ayat ini yakni: ‘’(Wal takun minkum) Ayuhal
mu’minun (ummatun) jama’atun‘’, artinya: “Hendaknya ada di antaramu
(wahai orang-orang beriman) umat )jama’ah yang mengajak pada hukum-hukum
Islam(”. Al-Qadhi Al-Baydhawi dalam kitabnya, Tafsir al-Baidhawi tentang
arti ayat ini menyatakan: Lafadz Min —dalam ayat tersebut— mempunyai
konotasi li at-tab’idh (menujukkan makna sebagian). Karena amar makruf
dan nahi munkar merupakan fardhu kifayah.

Disamping karena aktivitas tersebut tidak bisa dilakukan oleh setiap
orang, ketika orang yang diperintah oleh nash tersebut harus mempunyai
sejumlah syarat, yang tidak bisa dipenuhi oleh semua orang. Seperti
pengetahuan tentang hukum, tingkat kecakapan, tatacara menunaikannya dan
kemampuan melaksanakannya. Perintah tersebut memang menyerukan kepada
seluruhnya (umat Islam), namun yang diminta mengerjakannya hanya
sebagian dari mereka. Itu membuktikan, bahwa perintah tersebut wajib
untuk seluruhnya, sehingga ketika mereka meninggalkan pokok kewajiban
tersebut, semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut dinyatakan gugur
dengan dikerjakan oleh sebagian di antara mereka. (Al-Baidhawi, Tafsir
al-Baidhawi, juz I, hal. 374).

Pada titik terakhir ini, Imam as-Syathibi memberikan penegasan, “Pada
dasarnya mereka (kaum Muslim) dituntut untuk menunaikannya secara
keseluruhan. Namun, mereka ada yang mampu melaksanakannya secara
langsung. Mereka inilah orang-orang berkompeten untuk melaksanakannya.
Sedangkan yang lain, meski mereka tidak mampu, tetapi tetap mampu
menghadirkan orang-orang yang berkemampuan. Jadi, siapa saja yang mampu
menjalankan pemerintahan (wilayah), dia dituntut untuk melaksanakannya.
Bagi yang tidak mampu, dituntut untuk melakukan perkara lain, yaitu
menghadirkan orang yang mampu dan memaksanya untuk melaksanakannya.
Kesimpulannya, yang mampu dituntut untuk menjalankan kewajiban tersebut,
sementara yang tidak mampu dituntut untuk menghadirkan orang yang mampu.
Alasannya, karena orang yang mampu tersebut tidak akan ada, kecuali
dengan dihadirkan. Ini merupakan bagian dari Ma la yatimmu al-wajib illa
bihi, yaitu kewajiban yang hanya bisa dijalankan dengan sempurna dengan
adanya perkara tadi.” (as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah,
juz I, hal. 128-129)

Ringkasnya, di dalam ayat itu disebutkan ‘Hendaknya ada di antara kamu
segolongan umat …’, artinya, hendaknya ada sekelompok/segolongan orang
dari kaum Muslim (ummatan minal muslimin atau jama’atan minal muslimin).
Ayat ini menegaskan perintah kepada kaum Muslim tentang keharusan adanya
kelompok/jama’ah. Kelompok untuk apa? Untuk menjalankan dua fungsi:
pertama, da’wah ilal khair (menyeru kepada al-khoir) dan kedua, amar
ma’ruf nahi munkar (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari perkara
munkar).

Kata al-khair dalam frase da’wah ilal khair menurut tafsir Jalalain
berarti al-Islam (Tafsir al-Quran al-’Azhim li al-imamain Jalalain, hal.
58), sehingga makna da’wah ilal khair adalah mendakwahkan/menyeru
manusia kepada Islam. Sementara itu, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa
al-khair adalah mengikuti al-Quran dan as-Sunnah. Maksud ayat tersebut,
lanjutnya adalah hendaknya ada dari umat ini suatu kelompok yang solid
dalam menjalankan tugas tersebut sekalipun hal itu juga merupakan
kewajiban atas setiap individu umat ini (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran
al-’Azhim, Juz I, hal. 478). Berdasarkan hal ini, jelaslah kelompok yang
dikehendaki Allah adalah kelompok yang secara penuh berjuang untuk
menyerukan Islam.

Pada sisi lain, kelompok tersebut berbentuk partai politik. Hal ini
dipahami dari fungsi kedua dari kelompok itu, yaitu amar ma’ruf nahi
munkar. Cakupan amar ma’ruf nahi munkar amat luas, termasuk di dalamnya
menyeru para penguasa agar mereka berbuat ma’ruf (melaksanakan syariah
Islam) dan melarangnya berbuat munkar (menjalankan sesuatu yang
bertentangan dengan syariah Islam). Bahkan, mengawasi para penguasa dan
menyampaikan nasihat kepadanya merupakan bagian terpenting dari
aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.

Padahal, aktivitas demikian merupakan aktivitas politik sekaligus
termasuk kegiatan politik yang amat penting, yang menjadi ciri utama
kegiatan sebuah partai politik. Jadi, ayat tersebut mengisyaratkan
tentang kewajiban mendirikan partai-partai politik yang berdasarkan
Islam. Dengan kata lain, partai politik yang harus ada adalah partai
politik yang tegak di atas ideologi (mabda) Islam atau partai Islam
ideologis.

Berdasarkan hal tersebut, partai politik Islam adalah partai yang
berideologi Islam, mengambil dan menetapkan ide-ide, hukum-hukum dan
pemecahan problematika dari syariah Islam, serta metode operasionalnya
mencontoh metode (thariqah) Rasulullah SAW.

Partai politik Islam adalah partai yang berupaya menyadarkan masyarakat
dan berjuang bersamanya untuk melanjutkan kehidupan Islam. Partai
politik Islam tidak ditujukan untuk meraih suara dalam Pemilu atau
berjuang meraih kepentingan sesaat, melainkan partai yang berjuang untuk
merubah sistem Sekular menjadi sistem yang diatur oleh syariah Islam.
Orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu
kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan
yang sama semuanya haruslah didasarkan dan bersumber dari Islam.
Karenanya, partai Islam yang ideologis memiliki beberapa karakter, di
antaranya:

1. Dasarnya adalah Islam. Hidup matinya adalah untuk Islam.

2. Orang-orangnya adalah orang-orang yang berkepribadian Islam. Mereka
berpikir berdasarkan Islam dan berbuat berdasarkan Islam. Partai politik
Islam terus menerus melakukan pembinaan kepada para anggotanya hingga
mereka memiliki kepribadian Islam sekaligus memiliki pemikiran,
perasaan, pendapat dan keyakinan yang sama, sehingga orientasi, nilai,
cita-cita dan tujuannya pun sama. Merekapun menjadi sumberdaya manusia
(SDM) yang siap untuk menerapkan syariah Islam. Pada saat yang sama,
ikatan yang menyatukan mereka bukan kepentingan atau uang melainkan
akidah Islamiyah.

3. Memiliki amir/pemimpin partai yang menyatu dengan pemikiran Islam dan
dipatuhi selama sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Nabi SAW bersabda,
“Jika kalian bertiga dalam satu safar, tunjuklah amir satu di antaramu”
(HR Muslim).

4. Memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas terkait berbagai hal. Partai
Islam haruslah memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas tentang sistem
ekonomi, sistem politik, sistem pemerintahan, sistem sosial, sistem
pendidikan, politik luar negeri, dll. Semuanya harus tersedia dan siap
untuk disampaikan. Konsepsi inilah yang disosialisasikan kepada
masyarakat hingga mereka menjadikan penerapan semua sistem Islam
tersebut sebagai kebutuhan bersama. Syariah Islam inilah yang
diperjuangkan untuk ditegakkan. Pada sisi lain, konsepsi tidak akan
dapat dilakukan kecuali adanya metode pelaksanaan (thariqah). Dan metode
pelaksanaan hukum Islam tersebut adalah melalui pemerintah yang
menerapkan Islam. Upaya mewujudkan pemerintahan yang menerapkan hukum
Islam (khilafah) tersebut merupakan arah yang dituju partai Islam.

5. Mengikuti metode yang jelas dalam perjuangannya sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pertama, melakukan pembinaan dan
pengkaderan. Kedua, bergerak dan bergaul bersama dengan masyarakat.
Ketiga, menegakkan syariah secara total dengan dukungan dan bersama
dengan rakyat.

6. Melakukan aktivitas:

a. Membangun tubuh partai dengan melakukan pembinaan secara intensif
sehingga menyakini ide-ide yang diadopsi oleh partai.

b. Membina umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syara’ yang
diadopsi oleh partai, sehingga tercipta opini tentang syari’at Islam
sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah umat dan keharusan menerapkan
syariah Islam dalam wadah Khilafah.

c. Melakukan perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang
bertentangan dengan Islam.

d. Melakukan koreksi terhadap penguasa yang tidak menerapkan Islam atau
menzhalimi rakyat.

e. Perjuangan politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa
yang zhalim.

Arah Jalan

Secara umum ada dua jalan yang ditempuh dalam perjuangan merubah sistem
Sekular menjadi Islam. Pertama, jalan parlemen. Jalan ini menggunakan
logika linier, yaitu partai politik ikut dalam parlemen untuk merumuskan
perundang-undangan yang sesuai dengan syariah. Dengan demikian, sistem
akan berubah.

Fakta menunjukkan perubahan total tidak pernah terjadi melalui jalan
parlemen. Kalaupun bisa terjadi bersifat parsial. Karenanya, perjuangan
melalui parlemen bukanlah metode untuk melakukan perubahan total.

Parlemen tidak dapat dijadikan sebagai metode perubahan. Sebab, metode
perubahan melalui parlemen hanya bersifat teoritis belaka bukan praktis.
Selain itu, pemilu bukanlah metode perubahan yang telah ditempuh oleh
Rasul saw. ketika mendirikan pemerintahan Islam. Selain itu, fakta di
Indonesia juga menunjukkan bahwa partai-partai politik dan anggota
parlemen sejak awal telah melihat keharusan mereka untuk terikat dengan
Sekularisme Kapitalisme beserta produk perundangan-undangannya. Ini
artinya, pemilu di Indonesia tidak diadakan dalam rangka melakukan
perubahan mendasar apapun.

Pada sisi lain dilihat dari faktanya, parlemen itu memiliki tiga fungsi,
yaitu:

1. Membuat undang-undang dasar dan undang-undang serta mengesahkan
berbagai kesepakatan, rancangan undang-undang, dan berbagai perjanjian
yang lain.

2. Mengangkat kepala negara –di beberapa negara, dia dipilih secara
langsung oleh rakyat– dan memberikan mandat kepadanya untuk menjalankan
pemerintahan.

3. Melakukan pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan
lembaga-lembaga pemerintahan.

Partai Islam ditujukan untuk menerapkan Islam secara kaffah, karenanya
partai yang membuat undang-undang sekular, melalui wakilnya yang duduk
di parlemen, bertentangan dengan fakta partai Islam itu sendiri. Lebih
dari itu, dalam pandangan Islam, manusia tidak berhak membuat hukum dan
undang-undang. Yang berhak membuat hukum perundang-undangan itu hanyalah
Allah SWT. Allah berfirman:

Kuputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (TQS. Yûsuf [12]: 40)

Begitu juga pemberian mandat kepada pemerintah yang tidak berhukum
dengan hukum Allah, jelas hukumnya haram, tidak boleh dilakukan oleh
partai Islam. Allah SWT menegaskan hal ini dalam firmanNya:


Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah
Islam), maka mereka termasuk orang-orang kafir. (TQS. al-Mâidah [5]: 44)

Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah,
maka mereka adalah orang zalim. (TQS. al-Mâ’idah [5]: 45)

Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah
Islam), maka mereka termasuk orang-orang fasiq” (TQS. al-Mâidah [5]: 47)

Adapun aktivitas pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan
lembaga-lembaga pemerintahan merupakan kewajiban yang harus dilakukan,
termasuk oleh partai politik. Caranya, bisa dari luar parlemen, bisa
juga dari dalam parlemen. Karena itu, siapapun yang ada di dalam
parlemen harus menjadikannya sebagai mimbar dakwah dalam rangka
melakukan koreksi (muhasabah) bagi penguasa. Satu hal yang penting
dicatat adalah parlemen sebagai mimbar dakwah hanyalah salah satu teknik
(uslub) saja dalam melakukan koreksi pada penguasa.

Jalan kedua adalah jalan yang merupakan metode perubahan. Metode ini
adalah metode yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Metode tersebut berupa
pembinaan umat Islam dan berinteraksi dengan mereka hingga terbentuk
kesadaran umum pada diri mereka. Bukan sembarang kesadaran melainkan
kesadaran bahwa mereka adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh
umat manusia, dan kesadaran bahwa agama Islam yang telah diturunkan oleh
Allah kepada Muhammad adalah risalah paripurna yang mengatur seluruh
aspek kehidupan. Umat pun menjadi sadar bahwa Allah akan memenangkannya
atas semua agama dan ideologi, termasuk atas demokrasi Barat.

Agama inilah satu-satunya yang akan membebaskan manusia dari kegelapan
menuju cahaya Islam. Tidak berhenti sampai di situ, muncul pula
kesadaran bahwa masalah utama umat Islam saat ini adalah mengembalikan
Khilafah Islam yang akan menerapkan syariah Allah di dalam negeri,
mengemban risalah ke seluruh dunia, serta menyatukan kaum Muslim di
bawah panji La ilaha illallah. Umat juga sadar bahwa mengembalikan
Khilafah itu harus dilakukan melalui thalab an-nushrah (aktivitas
mencari pertolongan) dari para pemilik kekuatan (ahlul quwwah), bukan
melalui pemilihan umum. Partai politik Islam melakukan proses penyadaran
pada semua lini masyarakat.

Dalam prakteknya, partai Islam tidak lepas dari langkah-langkah berikut:

1. Dimulai dengan pembentukan kader yang berkepribadian Islam
(Syakhshiyyah Islamiyyah), melalui pembinaan intensif (halqah
murakkazah) dengan materi dan metode tertentu. Proses ini akan
menjadikan rekrutmen kader politik tidak pernah surut. Bukan kader yang
berambisi untuk mendapatkan kursi melainkan kader perjuangan dalam
menegakkan Islam demi kemaslahatan manusia.

2. Pembinaan umat (tatsqif jamaiy) untuk terbentuknya kesadaran
masyarakat (al-wa’yu al-am) tentang Islam. Pembinaan ini harus
menghubungkan realitas yang terjadi dengan pandangan dan sikap Islam
terhadap realitas tersebut. Misalnya, memperbincangkan dengan masyarakat
persoalan kenaikan harga listrik, BBM, penjualan kekayaan rakyat kepada
asing, tekanan Dana Moneter Internasional (IMF), penghinaan terhadap
Nabi/al-Quran/Islam, dll, disertai penjelasan hukum Islam tentang
masalah tersebut. Partai membuat komentar, analisis, dan sikap politik
terkait hal-hal tersebut lalu disampaikan kepada rakyat. Juga, dilakukan
koreksi terhadap kebijakan penguasa serta membongkar rencana jahat
negara asing. Dengan cara seperti ini rakyat akan memiliki sikap politik
sesuai dengan pandangan Islam terhadap berbagai peristiwa yang terjadi.
Dengan pembinaan ini pula terjadi transfer nilai-nilai dan hukum Islam
dari generasi ke generasi. Partai Islam sehari-hari berada di tengah rakyat.

3. Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh partai
(tanmiyatu jismi al-hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum
dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik
(al-quwwatu al-siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang
memilliki kesadaran politik Islam (al-wa’yu al-siyasiy al-islamy), yakni
kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur
dengan syariah Islam. Maka harus ada upaya terus menerus penyadaran
politik Islam kepada masyarakat, yang dilakukan oleh kader. Makin banyak
kader, makin cepat kesadaran terbentuk sehingga kekuatan politik juga
makin cepat terwujud. Di sinilah agregasi dan artikulasi kepentingan
rakyat terjadi. Apa yang menjadi kepentingan rakyat tersebut tidak lepas
dari tuntutan dan tuntunan aturan Islam. Dengan cara seperti ini terjadi
komunikasi politik dan sosialisi politik antara partai dengan rakyat
hingga massa umat memiliki kesadaran politik.

Pemikiran partai Islam tentu berbeda dengan partai
Sekular-Kapitalis-Liberal maupun Sosialis-Komunis. Sebagai contoh, dalam
masalah ekonomi, partai sekular menjadikan seluruh aset produksi,
termasuk sumber daya alam (SDA) dibiarkan dikuasai oleh individu atau
swasta berdasarkan mekanisme pasar. Sementara partai Sosialis menjadikan
negara sebagai aktor tunggal aktivitas ekonomi, sehingga semua aset
produksi, termasuk sumber daya alam (SDA) dimonopoli oleh negara. Rakyat
pun tidak boleh memiliki aset produksi apapun. Adapun partai Islam,
menjadikan aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA), sesuai dengan
mekanisme hukum syara’, yang terbagi dalam tiga jenis kepemilikan, yaitu
kepemilikan individu, umum dan negara. Ada juga partai yang tidak
memiliki konsep apapun tentang masalah tersebut, maka senyatanya ia
bukanlah partai, atau sekadar partai papan nama.

4. Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah
Islam. Di sinilah penggabungan kepentingan (interest aggregation) dan
perumusan kepentingan (interest articulation) dilandaskan pada Islam dan
diperjuangkan bersama antara partai dengan rakyat.

5. Penyampaian Islam pun ditujukan kepada ahl-quwwah dan pihak-pihak
yang berpengaruh seperti politisi, orang kaya, tokoh masyarakat, media
massa dan sebagainya. Melalui pendekatan intensif ahl-quwwah setuju dan
mendukung perjuangan partai bersama rakyat. Kekuatan politik yang
didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung.

6. Sistem (syariah) dan kekuasaan (khilafah atau penyatuan ke dalam
khilafah) Islam tegak melalui jalan umat.

Jalan tersebut merupakan jalan yang didasarkan pada kesadaran masyarakat
dan perjuangan bersama antara partai dengan umat sehingga dikenal dengan
jalan ‘an thariq al-ummah (melalui jalan umat). Tampak, jalan tersebut
merupakan jalan damai dan alami. Tidak ada sesuatu yang perlu ditakutkan
atau dikhawatirkan. Sebab, inti dari metode itu adalah kesadaran umat
dan tuntutan umat demi kemaslahatan umat.

Kemasalahatan umat itu bukanlah sekadar persoalan moralitas dan sentimen
keagamaan. Namun, Partai politik Islam juga memiliki solusi syariah yang
cerdas, dan bisa diterapkan oleh negara, seperti menjamin kebutuhan
pokok (sandang, pangan, dan papan) tiap individu masyarakat. Mekanisme
ini dilakukan setelah secara individu, seseorang tidak mampu
memenuhinya, dan keluarga dekatnya tidak mampu memenuhinya. Selain itu,
Islam juga menjamin kebutuhan kolektif, seperti pendidikan, kesehatan
dan keamanan gratis sebagaimana yang banyak dinyatakan dalam al-Quran
dan hadits Nabi.

Demikianlah seharusnya partai politik Islam. Kehadirannya didambakan
oleh rakyat yang menginginkan hidup sejahtera di dunia dan akhirat.

No comments: