BENTAR lagi Ramadhan.
Di bulan puasa itu, sering kita dengar kalimat 'Berbuka
puasalah dengan makanan atau minuman yang manis,' katanya.
Konon, itu dicontohkan Rasulullah saw. Benarkah demikian?
Dari Anas bin Malik ia berkata : "Adalah Rasulullah
berbuka dengan Rutab (kurma yang lembek) sebelum shalat,
jika tidak terdapat Rutab,
maka beliau berbuka dengan Tamr (kurma kering), maka jika
tidak ada kurma kering beliau meneguk air. (Hadits riwayat
Ahmad dan Abu Dawud)
Nabi Muhammad Saw berkata : "Apabila berbuka salah satu
kamu, maka hendaklah
berbuka dengan kurma. Andaikan kamu tidak memperolehnya,
maka berbukalah dengan air, maka sesungguhnya air itu
suci."
Nah. Rasulullah berbuka dengan kurma. Kalau tidak mendapat
kurma, beliau berbuka puasa dengan air.
Samakah kurma dengan 'yang manis-manis'? Tidak. Kurma,
adalah karbohidrat
kompleks (complex carbohydrate).
Sebaliknya, gula yang terdapat dalam makanan atau minuman
yang manis-manis yang biasa kita konsumsi sebagai makanan
berbuka puasa,
adalah karbohidrat sederhana (simple carbohydrate).
Darimana asalnya sebuah kebiasaan berbuka dengan yang
manis? Tidak jelas.
Malah berkembang jadi waham umum di masyarakat,
seakan-akan berbuka puasa
dengan makanan atau minuman yang manis adalah 'sunnah
Nabi'.
Sebenarnya tidak demikian. Bahkan sebenarnya berbuka puasa
dengan
makanan manis-manis yang penuh dengan gula (karbohidrat
sederhana) justru merusak
kesehatan.
Dari dulu saya tergelitik tentang hal ini, bahwa berbuka
puasa 'disunnahkan' minum atau makan yang manis-manis.
Sependek ingatan saya, Rasulullah mencontohkan buka puasa
dengan kurma atau air putih, bukan yang manis-manis.
Kurma, dalam kondisi asli, justru tidak terlalu manis.
Kurma segar merupakan buah yang bernutrisi sangat tinggi
tapi berkalori rendah, sehingga tidak menggemukkan (data
di sini dan di sini).
Tapi kurma yang didatangkan ke Indonesia dalam
kemasan-kemasan di bulan Ramadhan sudah berupa 'manisan
kurma', bukan lagi kurma segar.
Manisan kurma ini justru ditambah kandungan gula yang
berlipat-lipat kadarnya agar awet dalam perjalanan
ekspornya.
Sangat jarang kita menemukan kurma impor yang masih asli
dan belum berupa manisan. Kalaupun ada, sangat mungkin
harganya menjadi sangat mahal.
Kenapa berbuka puasa dengan yang manis justru merusak
kesehatan?
Ketika berpuasa, kadar gula darah kita menurun. Kurma,
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, adalah
karbohidrat kompleks,
bukan gula (karbohidrat sederhana). Karbohidrat kompleks,
untuk menjadi glikogen, perlu diproses sehingga makan
waktu.
Sebaliknya, kalau makan yang manis-manis, kadar gula darah
akan melonjak naik, langsung. Bum. Sangat tidak sehat.
Kalau karbohidrat kompleks seperti kurma asli, naiknya
pelan-pelan.
Mari kita bicara 'indeks glikemik' (glycemic index/GI)
saja. Glycemic Index (GI) adalah laju perubahan makanan
diubah menjadi gula dalam tubuh.
Makin tinggi glikemik indeks dalam makanan, makin cepat
makanan itu dirubah menjadi gula, dengan demikian tubuh
makin cepat pula menghasilkan respons insulin.
Para praktisi fitness atau pengambil gaya hidup sehat,
akan sangat menghindari makanan yang memiliki indeks
glikemik yang tinggi.
Sebisa mungkin mereka akan makan makanan yang indeks
glikemiknya rendah. Kenapa? Karena makin tinggi respons
insulin tubuh, maka tubuh makin menimbun lemak.
Penimbunan lemak tubuh adalah yang paling dihindari
mereka.
Nah, kalau habis perut kosong seharian, lalu langsung
dibanjiri dengan gula (makanan yang sangat-sangat tinggi
indeks glikemiknya), sehingga respon insulin dalam tubuh
langsung melonjak.
Dengan demikian, tubuh akan sangat cepat merespon untuk
menimbun lemak.
Saya pernah bertanya tentang hal ini kepada seorang sufi
yang diberi Allah 'ilm tentang urusan kesehatan jasad
manusia. Kata Beliau, bila berbuka puasa, jangan makan
apa-apa dulu. Minum air putih segelas, lalu sholat
maghrib. Setelah shalat, makan nasi seperti biasa.
Jangan pernah makan yang manis-manis, karena merusak badan
dan bikin penyakit. Itu jawaban beliau.
Kenapa bukan kurma ?
Sebab kemungkinan besar, kurma yang ada di Indonesia
adalah 'manisan kurma', bukan kurma asli.
Manisan kurma kandungan gulanya sudah jauh berlipat-lipat
banyaknya.
Kenapa nasi ?
Lha, nasi adalah karbohidrat kompleks.
Perlu waktu untuk diproses dalam tubuh, sehingga respon
insulin dalam tubuh juga tidak melonjak.
Karena respon insulin tidak tinggi, maka kecenderungan
tubuh untuk menabung lemak juga rendah.
Inilah sebabnya, banyak sekali orang di bulan puasa yang
justru lemaknya bertambah di daerah-daerah penimbunan
lemak: perut, pinggang, bokong, paha, belakang lengan,
pipi, dan sebagainya. Itu karena langsung membanjiri tubuh
dengan insulin, melalui makan yang manis-manis, sehingga
tubuh menimbun lemak, padahal otot sedang mengecil karena
puasa.
Pantas saja kalau badan kita di bulan Ramadhan malah makin
terlihat seperti 'buah pir', penuh lemak di daerah
pinggang.
Karena waham umum masyarakat yang mengira bahwa berbuka
dengan yang manis-manis adalah 'sunnah', maka puasa
bukannya malah menyehatkan kita.
Banyak orang di bulan puasa justru menjadi lemas,
mengantuk, atau justru tambah gemuk karena kebanyakan
gula.
Karena salah memahami
hadits di atas, maka efeknya 'rajin puasa = rajin berbuka
dengan gula.'
Ingin 'Kurus'
Melenceng dikit dari topik blog ya. Dikit aja. Itung-itung
bonus.
Untuk sahabat-sahabat yang ingin kurus: jangan diet (dalam
pengertian mengurangi frekuensi makan).
Diet justru menambah kecenderungan tubuh untuk menabung
lemak karena
'dilaparkan'.
Ketika diet memang makanan tidak masuk, tapi begitu
makanan masuk, kecenderungan tubuh untuk menimbun lemak
dari makanan justru lebih besar.
Rahasia kurus sebenarnya adalah menjaga agar respon
insulin dalam tubuh stabil, tidak melonjak-lonjak.
Caranya, hanya makan makanan yang memberi respon insulin
rendah, yaitu yang indeks glikemiknya rendah.
Respon insulin tubuh meningkat bila:
(1) Makin tinggi jumlah karbohidrat yang dimakan dalam
satu porsi, makin tinggi pula respon insulin tubuh (ini
umumnya porsi kita di Indonesia:
lebih dari 70 persen dari satu porsi makannya adalah
nasi). Makanya, makanlah dengan karbohidrat cukup lima
puluh persennya saja.
Sisanya protein, dan 5-10 persennya lemak. Lemak ini cukup
dari lemak yang terkandung dalam daging yang kita makan,
misalnya. Atau kuning telur.
Tidak perlu menambah minyak atau memakan lemak hewan (yang
justru buruk pengaruhnya bagi tubuh).
Lemak (sedikit!) masih diperlukan untuk mengolah beberapa
nutrisi dan vitamin, dan untuk membawa nutrisi ke seluruh
tubuh.
(2) Semakin tinggi GI (Glycemic Index) karbohidrat yang
dikonsumsi, semakin meningkat pula respon insulin tubuh.
Makanya, makan hanya makanan yang GI-nya rendah. Nanti
saya jelaskan di bawah.
(3) Semakin jarang makan, semakin meningkat respon insulin
setiap kali makan.
Ini sebabnya diet (dalam pengertian: mengurangi frekuensi
makan supaya kurus) tidak akan pernah berhasil untuk
jangka lama.
Setelah diet selesai, tubuh justru akan cenderung lebih
gemuk dari sebelum diet. Supaya kurus (baca: supaya respon
insulin tidak melonjak) justru harus makan lebih sering
(4-5 kali sehari) tapi dengan porsi setengah atau
sepertiga porsi biasa, dengan karbohidrat maksimal 50
persen saja setiap porsi.
Kalau respon insulin tubuh sudah stabil, maka tinggal
diatur: kalau ingin kurus, kalori yang masuk harus lebih
sedikit dari kalori makanan yang dibutuhkan untuk
aktivitas sehari hari.
Tambah dengan olahraga teratur untuk membakar lemak
berlebih dalam tubuh, dan memperbesar otot.
Otot membutuhkan energi, maka makin terlatih otot, ia akan
makin mengkonsumsi lemak dalam tubuh kita untuk energi.
Sebaliknya kalau ingin memperbesar otot (bukan gemuk) atau
mengencangkan badan, maka kalori yang masuk harus agak
lebih banyak dari jumlah kalori yang akan kita pakai untuk
aktivitas selama sehari, agar otot
mengalami pertumbuhan. Otot sendiri dirangsang
pertumbuhannya dan 'kekencangannya' dengan olahraga
teratur. Perbanyak protein agar pertumbuhan otot optimal.
Karbohidrat cukup diposisikan sebagai bahan pemberi
energi, bukan untuk mengenyangkan perut.
Lucu ya: kalau ingin kurus atau memperbaiki bentuk badan,
termasuk menumbuhkan otot, justru harus makan lebih sering
dengan porsi kecil.
Makan yang mengandung lemak, goreng-gorengan, kanji, atau
karbohidrat sederhana seperti gula, manisan, minuman
ringan bersoda dan sebangsanya itu sudah out of the
question.
Kalau kita jarang makan, atau makan tidak teratur dan
sekalinya makan 'balas dendam habis-habisan', ya justru
respon insulin kita juga melonjak dan membuat tubuh jadi
menimbun lemak.
Sekali lagi, baik ketika berbuka puasa atau dalam makanan
keseharian, makanlah makanan yang seimbang: 50 persen
karbohidrat kompleks, 40-45 persen protein dan 5-10
persen lemak dalam setiap porsinya. Jauhilah karbohidrat
sederhana sebisa mungkin.
Kalaupun harus makan karbohidrat sederhana karena butuh
energi cepat carilah yang nilai indeks glikemiknya rendah.
Karbohidrat kompleks membutuhkan waktu untuk diubah tubuh
menjadi energi Dengan demikian, makanan diproses
pelan-pelan dan tenaga diperoleh
sedikit demi sedikit. Dengan demikian, kita tidak cepat
lapar dan energi tersedia dalam waktu lama, cukup untuk
aktivitas sehari penuh.
Sebaliknya, karbohidrat sederhana menyediakan energi
sangat cepat, tapi akan cepat sekali habis sehingga kita
mudah lemas.
Maka, ketika makan sahur, jangan makan yang banyak
mengandung gula, karena kita akan cepat lemas.
Makanlah karbohidrat kompleks (protein jangan dilupakan!)
sehingga kita tetap berenergi sampai waktu berbuka.
Karbohidrat sederhana, GI tinggi (energi sangat cepat
habis, respon insulin tinggi: merangsang penimbunan lemak)
adalah: sukrosa (gula-gulaan), makanan manis-manis,
manisan, minuman ringan, jagung manis, sirop, atau apapun
makanan dan minuman yang mengandung banyak gula.
Hindari, puasa atau tidak puasa.
Karbohidrat sederhana, GI rendah (energi cepat, respon
insulin rendah): buah-buahan yang tidak terlalu manis
seperti pisang, apel, pir, dan sebagainya.
Sekarang ngerti kan, kenapa para pemain tenis dunia,
pemain bola, pemain basket atau pelari sering terlihat
'ngemil pisang' di pinggir lapangan?
Karena mereka butuh energi cepat, tapi nggak ingin
badannya gembul berlemak. Karbohidrat Kompleks, GI tinggi
(energi pelan-pelan, tapi respon insulinnya tinggi): Nasi
putih, kentang, jagung.
Karbohidrat Kompleks, GI rendah (energi dilepas
pelan-pelan sehingga tahan lama, respon insulin juga
rendah): Gandum, beras merah, umbi-umbian, sayuran.
Ini yang paling dicari para praktisi fitness.
Makanan yang diproses pelan-pelan (karbohidrat kompleks)
akan membuat kita tidak cepat lapar dan energi dihabiskan
cukup untuk aktivitas satu hari penuh; respon insulin
rendah membuat tubuh kita tidak cenderung untuk menabung
lemak.
Kalau saya pribadi, sahur cukup dengan oatmeal gandum
(ditambah gula edikiiiiiit), atau roti coklat gandum, dua
atau tiga butir telur rebus (kuningnya saya hancurkan dan
ditebarkan di rumput untuk makanan semut-semut di halaman
rumah), sayuran segar, dan air putih.
Ini sudah cukup untuk membuat tenaga saya tidak habis
sampai buka puasa karena energi dari karbohidrat
kompleksnya (gandum) akan dilepas pelan-pelan ke dalam
tubuh sepanjang hari. Ketika berbuka, sesuai anjuran
Rasulullah dan sufi tadi, saya biasanya minum segelas air,
lalu shalat maghrib.
Setelah shalat makan nasi seperti biasa, sebisa mungkin
dengan porsi karbohidrat-protein-lemak-air proporsional.
Dan tentu tidak untuk 'balas dendam' karena puasa
seharian. Ini justru saat yang penting untuk melatih
melawan keinginan hawa nafsu 'makan sekenyang-kenyangnya'.
Belajar sabar.
Waham Umum
Oke, kembali ke topik. Nah, saya kira, "berbukalah dengan
yang manis-manis" itu adalah kesimpulan yang terlalu
tergesa-gesa atas hadits tentang berbuka diatas. Karena
kurma rasanya manis, maka muncul anggapan bahwa
(disunahkan) berbuka harus dengan yang manis-manis.
Pada akhirnya kesimpulan ini menjadi waham dan memunculkan
budaya berbuka puasa yang keliru di tengah masyarakat.
Yang jelas, 'berbukalah dengan yang manis' itu
disosialisasikan oleh slogan advertising banyak sekali
perusahaan makanan di bulan suci Ramadhan.
Namun demikian, sekiranya ada di antara para sahabat yang
menemukan hadits yang jelas bahwa Rasulullah memang
memerintahkan berbuka dengan
yang manis-manis, mohon ditulis di komentar di bawah, ya.
Saya, mungkin juga para sahabat yang lain, ingin sekali
tahu.
Semoga tidak termakan waham umum 'berbukalah dengan yang
manis'. Atau lebih baik lagi, jangan mudah termakan waham
umum tentang agama.
Periksa dulu kebenarannya.
Kalau ingin sehat, ikuti saja kata Rasulullah:
"Makanlah hanya ketika lapar, dan
berhentilah makan sebelum kenyang." Juga, isi sepertiga
perut dengan makanan, sepertiga lagi air, dan sepertiga
sisanya biarkan kosong.
"Kita (Kaum Muslimin) adalah suatu kaum yang bila telah
merasa lapar barulah makan, dan apabila makan tidak hingga
kenyang," kata Rasulullah.
"Tidak ada satu wadah pun yang diisi oleh Bani Adam, lebih
buruk daripada perutnya.
Cukuplah baginya beberapa suap untuk memperkokoh tulang
belakangnya agar dapat tegak.
Apabila tidak dapat dihindari, cukuplah sepertiga untuk
makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya, dan sepertiga
lagi untuk nafasnya."
(HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya
yang bersumber dari Miqdam bin Ma'di Kasib)
Semoga bermanfaat..
BENTAR lagi Ramadhan.
Di bulan puasa itu, sering kita dengar kalimat 'Berbuka
puasalah dengan makanan atau minuman yang manis,' katanya.
Konon, itu dicontohkan Rasulullah saw. Benarkah demikian?
Dari Anas bin Malik ia berkata : "Adalah Rasulullah
berbuka dengan Rutab (kurma yang lembek) sebelum shalat,
jika tidak terdapat Rutab,
maka beliau berbuka dengan Tamr (kurma kering), maka jika
tidak ada kurma kering beliau meneguk air. (Hadits riwayat
Ahmad dan Abu Dawud)
Nabi Muhammad Saw berkata : "Apabila berbuka salah satu
kamu, maka hendaklah
berbuka dengan kurma. Andaikan kamu tidak memperolehnya,
maka berbukalah dengan air, maka sesungguhnya air itu
suci."
Nah. Rasulullah berbuka dengan kurma. Kalau tidak mendapat
kurma, beliau berbuka puasa dengan air.
Samakah kurma dengan 'yang manis-manis'? Tidak. Kurma,
adalah karbohidrat
kompleks (complex carbohydrate).
Sebaliknya, gula yang terdapat dalam makanan atau minuman
yang manis-manis yang biasa kita konsumsi sebagai makanan
berbuka puasa,
adalah karbohidrat sederhana (simple carbohydrate).
Darimana asalnya sebuah kebiasaan berbuka dengan yang
manis? Tidak jelas.
Malah berkembang jadi waham umum di masyarakat,
seakan-akan berbuka puasa
dengan makanan atau minuman yang manis adalah 'sunnah
Nabi'.
Sebenarnya tidak demikian. Bahkan sebenarnya berbuka puasa
dengan
makanan manis-manis yang penuh dengan gula (karbohidrat
sederhana) justru merusak
kesehatan.
Dari dulu saya tergelitik tentang hal ini, bahwa berbuka
puasa 'disunnahkan' minum atau makan yang manis-manis.
Sependek ingatan saya, Rasulullah mencontohkan buka puasa
dengan kurma atau air putih, bukan yang manis-manis.
Kurma, dalam kondisi asli, justru tidak terlalu manis.
Kurma segar merupakan buah yang bernutrisi sangat tinggi
tapi berkalori rendah, sehingga tidak menggemukkan (data
di sini dan di sini).
Tapi kurma yang didatangkan ke Indonesia dalam
kemasan-kemasan di bulan Ramadhan sudah berupa 'manisan
kurma', bukan lagi kurma segar.
Manisan kurma ini justru ditambah kandungan gula yang
berlipat-lipat kadarnya agar awet dalam perjalanan
ekspornya.
Sangat jarang kita menemukan kurma impor yang masih asli
dan belum berupa manisan. Kalaupun ada, sangat mungkin
harganya menjadi sangat mahal.
Kenapa berbuka puasa dengan yang manis justru merusak
kesehatan?
Ketika berpuasa, kadar gula darah kita menurun. Kurma,
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, adalah
karbohidrat kompleks,
bukan gula (karbohidrat sederhana). Karbohidrat kompleks,
untuk menjadi glikogen, perlu diproses sehingga makan
waktu.
Sebaliknya, kalau makan yang manis-manis, kadar gula darah
akan melonjak naik, langsung. Bum. Sangat tidak sehat.
Kalau karbohidrat kompleks seperti kurma asli, naiknya
pelan-pelan.
Mari kita bicara 'indeks glikemik' (glycemic index/GI)
saja. Glycemic Index (GI) adalah laju perubahan makanan
diubah menjadi gula dalam tubuh.
Makin tinggi glikemik indeks dalam makanan, makin cepat
makanan itu dirubah menjadi gula, dengan demikian tubuh
makin cepat pula menghasilkan respons insulin.
Para praktisi fitness atau pengambil gaya hidup sehat,
akan sangat menghindari makanan yang memiliki indeks
glikemik yang tinggi.
Sebisa mungkin mereka akan makan makanan yang indeks
glikemiknya rendah. Kenapa? Karena makin tinggi respons
insulin tubuh, maka tubuh makin menimbun lemak.
Penimbunan lemak tubuh adalah yang paling dihindari
mereka.
Nah, kalau habis perut kosong seharian, lalu langsung
dibanjiri dengan gula (makanan yang sangat-sangat tinggi
indeks glikemiknya), sehingga respon insulin dalam tubuh
langsung melonjak.
Dengan demikian, tubuh akan sangat cepat merespon untuk
menimbun lemak.
Saya pernah bertanya tentang hal ini kepada seorang sufi
yang diberi Allah 'ilm tentang urusan kesehatan jasad
manusia. Kata Beliau, bila berbuka puasa, jangan makan
apa-apa dulu. Minum air putih segelas, lalu sholat
maghrib. Setelah shalat, makan nasi seperti biasa.
Jangan pernah makan yang manis-manis, karena merusak badan
dan bikin penyakit. Itu jawaban beliau.
Kenapa bukan kurma ?
Sebab kemungkinan besar, kurma yang ada di Indonesia
adalah 'manisan kurma', bukan kurma asli.
Manisan kurma kandungan gulanya sudah jauh berlipat-lipat
banyaknya.
Kenapa nasi ?
Lha, nasi adalah karbohidrat kompleks.
Perlu waktu untuk diproses dalam tubuh, sehingga respon
insulin dalam tubuh juga tidak melonjak.
Karena respon insulin tidak tinggi, maka kecenderungan
tubuh untuk menabung lemak juga rendah.
Inilah sebabnya, banyak sekali orang di bulan puasa yang
justru lemaknya bertambah di daerah-daerah penimbunan
lemak: perut, pinggang, bokong, paha, belakang lengan,
pipi, dan sebagainya. Itu karena langsung membanjiri tubuh
dengan insulin, melalui makan yang manis-manis, sehingga
tubuh menimbun lemak, padahal otot sedang mengecil karena
puasa.
Pantas saja kalau badan kita di bulan Ramadhan malah makin
terlihat seperti 'buah pir', penuh lemak di daerah
pinggang.
Karena waham umum masyarakat yang mengira bahwa berbuka
dengan yang manis-manis adalah 'sunnah', maka puasa
bukannya malah menyehatkan kita.
Banyak orang di bulan puasa justru menjadi lemas,
mengantuk, atau justru tambah gemuk karena kebanyakan
gula.
Karena salah memahami
hadits di atas, maka efeknya 'rajin puasa = rajin berbuka
dengan gula.'
Ingin 'Kurus'
Melenceng dikit dari topik blog ya. Dikit aja. Itung-itung
bonus.
Untuk sahabat-sahabat yang ingin kurus: jangan diet (dalam
pengertian mengurangi frekuensi makan).
Diet justru menambah kecenderungan tubuh untuk menabung
lemak karena
'dilaparkan'.
Ketika diet memang makanan tidak masuk, tapi begitu
makanan masuk, kecenderungan tubuh untuk menimbun lemak
dari makanan justru lebih besar.
Rahasia kurus sebenarnya adalah menjaga agar respon
insulin dalam tubuh stabil, tidak melonjak-lonjak.
Caranya, hanya makan makanan yang memberi respon insulin
rendah, yaitu yang indeks glikemiknya rendah.
Respon insulin tubuh meningkat bila:
(1) Makin tinggi jumlah karbohidrat yang dimakan dalam
satu porsi, makin tinggi pula respon insulin tubuh (ini
umumnya porsi kita di Indonesia:
lebih dari 70 persen dari satu porsi makannya adalah
nasi). Makanya, makanlah dengan karbohidrat cukup lima
puluh persennya saja.
Sisanya protein, dan 5-10 persennya lemak. Lemak ini cukup
dari lemak yang terkandung dalam daging yang kita makan,
misalnya. Atau kuning telur.
Tidak perlu menambah minyak atau memakan lemak hewan (yang
justru buruk pengaruhnya bagi tubuh).
Lemak (sedikit!) masih diperlukan untuk mengolah beberapa
nutrisi dan vitamin, dan untuk membawa nutrisi ke seluruh
tubuh.
(2) Semakin tinggi GI (Glycemic Index) karbohidrat yang
dikonsumsi, semakin meningkat pula respon insulin tubuh.
Makanya, makan hanya makanan yang GI-nya rendah. Nanti
saya jelaskan di bawah.
(3) Semakin jarang makan, semakin meningkat respon insulin
setiap kali makan.
Ini sebabnya diet (dalam pengertian: mengurangi frekuensi
makan supaya kurus) tidak akan pernah berhasil untuk
jangka lama.
Setelah diet selesai, tubuh justru akan cenderung lebih
gemuk dari sebelum diet. Supaya kurus (baca: supaya respon
insulin tidak melonjak) justru harus makan lebih sering
(4-5 kali sehari) tapi dengan porsi setengah atau
sepertiga porsi biasa, dengan karbohidrat maksimal 50
persen saja setiap porsi.
Kalau respon insulin tubuh sudah stabil, maka tinggal
diatur: kalau ingin kurus, kalori yang masuk harus lebih
sedikit dari kalori makanan yang dibutuhkan untuk
aktivitas sehari hari.
Tambah dengan olahraga teratur untuk membakar lemak
berlebih dalam tubuh, dan memperbesar otot.
Otot membutuhkan energi, maka makin terlatih otot, ia akan
makin mengkonsumsi lemak dalam tubuh kita untuk energi.
Sebaliknya kalau ingin memperbesar otot (bukan gemuk) atau
mengencangkan badan, maka kalori yang masuk harus agak
lebih banyak dari jumlah kalori yang akan kita pakai untuk
aktivitas selama sehari, agar otot
mengalami pertumbuhan. Otot sendiri dirangsang
pertumbuhannya dan 'kekencangannya' dengan olahraga
teratur. Perbanyak protein agar pertumbuhan otot optimal.
Karbohidrat cukup diposisikan sebagai bahan pemberi
energi, bukan untuk mengenyangkan perut.
Lucu ya: kalau ingin kurus atau memperbaiki bentuk badan,
termasuk menumbuhkan otot, justru harus makan lebih sering
dengan porsi kecil.
Makan yang mengandung lemak, goreng-gorengan, kanji, atau
karbohidrat sederhana seperti gula, manisan, minuman
ringan bersoda dan sebangsanya itu sudah out of the
question.
Kalau kita jarang makan, atau makan tidak teratur dan
sekalinya makan 'balas dendam habis-habisan', ya justru
respon insulin kita juga melonjak dan membuat tubuh jadi
menimbun lemak.
Sekali lagi, baik ketika berbuka puasa atau dalam makanan
keseharian, makanlah makanan yang seimbang: 50 persen
karbohidrat kompleks, 40-45 persen protein dan 5-10
persen lemak dalam setiap porsinya. Jauhilah karbohidrat
sederhana sebisa mungkin.
Kalaupun harus makan karbohidrat sederhana karena butuh
energi cepat carilah yang nilai indeks glikemiknya rendah.
Karbohidrat kompleks membutuhkan waktu untuk diubah tubuh
menjadi energi Dengan demikian, makanan diproses
pelan-pelan dan tenaga diperoleh
sedikit demi sedikit. Dengan demikian, kita tidak cepat
lapar dan energi tersedia dalam waktu lama, cukup untuk
aktivitas sehari penuh.
Sebaliknya, karbohidrat sederhana menyediakan energi
sangat cepat, tapi akan cepat sekali habis sehingga kita
mudah lemas.
Maka, ketika makan sahur, jangan makan yang banyak
mengandung gula, karena kita akan cepat lemas.
Makanlah karbohidrat kompleks (protein jangan dilupakan!)
sehingga kita tetap berenergi sampai waktu berbuka.
Karbohidrat sederhana, GI tinggi (energi sangat cepat
habis, respon insulin tinggi: merangsang penimbunan lemak)
adalah: sukrosa (gula-gulaan), makanan manis-manis,
manisan, minuman ringan, jagung manis, sirop, atau apapun
makanan dan minuman yang mengandung banyak gula.
Hindari, puasa atau tidak puasa.
Karbohidrat sederhana, GI rendah (energi cepat, respon
insulin rendah): buah-buahan yang tidak terlalu manis
seperti pisang, apel, pir, dan sebagainya.
Sekarang ngerti kan, kenapa para pemain tenis dunia,
pemain bola, pemain basket atau pelari sering terlihat
'ngemil pisang' di pinggir lapangan?
Karena mereka butuh energi cepat, tapi nggak ingin
badannya gembul berlemak. Karbohidrat Kompleks, GI tinggi
(energi pelan-pelan, tapi respon insulinnya tinggi): Nasi
putih, kentang, jagung.
Karbohidrat Kompleks, GI rendah (energi dilepas
pelan-pelan sehingga tahan lama, respon insulin juga
rendah): Gandum, beras merah, umbi-umbian, sayuran.
Ini yang paling dicari para praktisi fitness.
Makanan yang diproses pelan-pelan (karbohidrat kompleks)
akan membuat kita tidak cepat lapar dan energi dihabiskan
cukup untuk aktivitas satu hari penuh; respon insulin
rendah membuat tubuh kita tidak cenderung untuk menabung
lemak.
Kalau saya pribadi, sahur cukup dengan oatmeal gandum
(ditambah gula edikiiiiiit), atau roti coklat gandum, dua
atau tiga butir telur rebus (kuningnya saya hancurkan dan
ditebarkan di rumput untuk makanan semut-semut di halaman
rumah), sayuran segar, dan air putih.
Ini sudah cukup untuk membuat tenaga saya tidak habis
sampai buka puasa karena energi dari karbohidrat
kompleksnya (gandum) akan dilepas pelan-pelan ke dalam
tubuh sepanjang hari. Ketika berbuka, sesuai anjuran
Rasulullah dan sufi tadi, saya biasanya minum segelas air,
lalu shalat maghrib.
Setelah shalat makan nasi seperti biasa, sebisa mungkin
dengan porsi karbohidrat-protein-lemak-air proporsional.
Dan tentu tidak untuk 'balas dendam' karena puasa
seharian. Ini justru saat yang penting untuk melatih
melawan keinginan hawa nafsu 'makan sekenyang-kenyangnya'.
Belajar sabar.
Waham Umum
Oke, kembali ke topik. Nah, saya kira, "berbukalah dengan
yang manis-manis" itu adalah kesimpulan yang terlalu
tergesa-gesa atas hadits tentang berbuka diatas. Karena
kurma rasanya manis, maka muncul anggapan bahwa
(disunahkan) berbuka harus dengan yang manis-manis.
Pada akhirnya kesimpulan ini menjadi waham dan memunculkan
budaya berbuka puasa yang keliru di tengah masyarakat.
Yang jelas, 'berbukalah dengan yang manis' itu
disosialisasikan oleh slogan advertising banyak sekali
perusahaan makanan di bulan suci Ramadhan.
Namun demikian, sekiranya ada di antara para sahabat yang
menemukan hadits yang jelas bahwa Rasulullah memang
memerintahkan berbuka dengan
yang manis-manis, mohon ditulis di komentar di bawah, ya.
Saya, mungkin juga para sahabat yang lain, ingin sekali
tahu.
Semoga tidak termakan waham umum 'berbukalah dengan yang
manis'. Atau lebih baik lagi, jangan mudah termakan waham
umum tentang agama.
Periksa dulu kebenarannya.
Kalau ingin sehat, ikuti saja kata Rasulullah:
"Makanlah hanya ketika lapar, dan
berhentilah makan sebelum kenyang." Juga, isi sepertiga
perut dengan makanan, sepertiga lagi air, dan sepertiga
sisanya biarkan kosong.
"Kita (Kaum Muslimin) adalah suatu kaum yang bila telah
merasa lapar barulah makan, dan apabila makan tidak hingga
kenyang," kata Rasulullah.
"Tidak ada satu wadah pun yang diisi oleh Bani Adam, lebih
buruk daripada perutnya.
Cukuplah baginya beberapa suap untuk memperkokoh tulang
belakangnya agar dapat tegak.
Apabila tidak dapat dihindari, cukuplah sepertiga untuk
makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya, dan sepertiga
lagi untuk nafasnya."
(HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya
yang bersumber dari Miqdam bin Ma'di Kasib)
Semoga bermanfaat..
No comments:
Post a Comment